
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong agar Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) mengatur tegas mekanisme restitusi, termasuk sanksi bagi pelaku yang tidak mampu atau tidak mau membayar ganti rugi kepada korban.
Ketua LPSK, Achmadi, mengatakan, pelaku yang tidak memenuhi kewajiban restitusi dapat dikenakan pidana pengganti dan kehilangan hak-haknya sebagai warga binaan.
“Jika harta kekayaan terpidana yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak mencukupi biaya restitusi, terpidana dikenai pidana penjara pengganti tidak melebihi pidana pokoknya dan/atau tidak berhak mendapatkan haknya sebagai warga binaan,” kata Achmadi dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (17/6).

Menurut Achmadi, KUHAP mendatang perlu memuat substansi yang dapat mendorong pelaku untuk membayar restitusi.
Salah satunya, selain melalui penyitaan aset, adalah dengan sanksi pencabutan hak narapidana, seperti remisi, cuti bersyarat, dan sebagainya.
“Penegakan hukum yang ketat dan tegas dalam pelaksanaan Pasal 94 KUHP perlu diakomodasi dalam KUHAP mendatang,” ujarnya.
LPSK juga mengusulkan perubahan dan penambahan sejumlah pasal dalam R-KUHAP, seperti Pasal 172 Ayat 2 yang menambahkan unsur “ganti kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana”.
Achmadi menjelaskan, tidak semua kerugian berkaitan langsung dengan kejahatan utama, namun bisa berasal dari proses hukum yang dijalani korban.
“Contohnya penggantian biaya transportasi, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum,” ujar dia.
Selain itu, LPSK mendorong Pasal 173 agar pemberitahuan hak restitusi juga bisa diberikan kepada keluarga atau ahli waris korban.
“Kejelasan hukum acara restitusi akan memberikan kepastian bagi korban dan menjadi panduan bagi aparat penegak hukum,” lanjut Achmadi.
Wakil Ketua LPSK, Antonius Wibowo menambahkan bahwa konsep restitusi dalam R-KUHAP harus melampaui konteks korban tindak pidana kekerasan seksual yang sudah diatur dalam UU TPKS (UU No. 12 Tahun 2022).
Menurutnya, banyak korban kejahatan lain seperti TPPO dan penganiayaan berat yang juga harus dilindungi hak restitusinya.
“Untuk restitusi yang kurang bayar, itu bisa dilakukan melalui penyitaan aset pelaku. Kalau setelah dilelang masih kurang, pelaku tetap dikenai pidana pengganti dan pencabutan hak-hak narapidana. Jadi hak-haknya dikurangi dulu sebelum restitusi dibayar,” jelas Anton.
Jika pelaku tetap tidak membayar, negara dapat menanggung restitusi. Khusus untuk korban TPKS, dananya diambil dari dana bantuan korban. Sementara bagi korban kejahatan lain, LPSK mengusulkan pembentukan dana abadi korban dalam KUHAP.
Achmadi menegaskan bahwa pemberian restitusi adalah hak korban yang dijamin undang-undang.
“Intinya terkait restitusi, bahwa undang-undang mengatur korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi. Itu penting,” pungkasnya.