REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesudah pengakuan kedaulatan (Belanda menyebutnya: penyerahan kekuasaan) pada Desember 1949, Indonesia memasuki babak baru dalam sejarahnya. Republik ini mulai menata diri agar dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain.
Salah satu tantangan terbesar ialah pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, masih ada "sisa-sisa kolonial" yang menyebar di perekonomian nasional pada saat itu.
Di tengah masyarakat, "uang merah" masih beredar dan bahkan berlaku secara de facto. Ini berbeda dengan rupiah yang diakui negara.
“Uang merah” dikeluarkan oleh NICA, yakni entitas bentukan Belanda yang pada periode 1945-1949 lalu hendak menjajah lagi RI pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945.
Untuk mengatasi persoalan ini dan sekaligus membuat gebrakan ekonomi, menteri keuangan RI saat itu, Mr Syafruddin Prawiranegara (ejaan lama: Sjafruddin Prawiranegara) membuat keputusan penting. Kebijakan demikian akhirnya populer dengan sebutan "Gunting Sjafruddin."
Kebijakan yang mulai berlaku sejak pukul 20.00 WIB malam tanggal 10 Maret 1950 itu menyasar peredaran dua hal, yakni “uang merah” dan uang yang dikeluarkan De Javasche Bank (cikal bakal Bank Indonesia) di tengah masyarakat. Harapannya, ORI menjadi satu-satunya jenis uang yang beredar.
Menurut aturan “Gunting Syafruddin”, “uang merah” dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas harus digunting menjadi dua.
Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula hingga tanggal 9 Agustus 1950 pukul 18.00 WIB. Kemudian, dalam periode 22 Maret-16 April 1950, bagian kiri tersebut wajib ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk resmi oleh pemerintah RI. Apabila lewat dari periode tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi.
Adapun guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi masih dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula. Obligasi itu akan dibayar oleh pemerintah RI 40 tahun kemudian dengan bunga sebesar tiga persen per tahun.
“Gunting Sjafruddin” juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan. Demikian pula halnya dengan uang (oeang) Republik Indonesia (ORI).
“Gunting Syafruddin” merupakan kebijakan yang cukup kontroversial, bahkan untuk pejabat teras atas.
Sebagai perdana menteri RI saat itu, Mohammad Hatta, menunjukkan teladan integritas yang tinggi. Selaku "bosnya" menteri keuangan, Bung Hatta pasti sangat mengetahui kebijakan “Gunting Syafruddin”, bahkan sejak masih tahap perencanaan. Toh ia pasti memafhumi imbas kebijakan itu: merosotnya nilai uang.