
Wilmar Group angkat bicara usai Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menyita uang sebesar Rp 11,8 triliun terkait kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).
Uang sebesar Rp 11,8 triliun itu disetorkan di tengah proses kasasi di Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis lepas para terdakwa korporasi karena dinilai perbuatannya bukan korupsi.
Lantaran vonis lepas tersebut, Kejagung kemudian mengajukan kasasi. Meski belum ada putusan, lima korporasi pada Wilmar Group mengembalikan uang ke Kejagung.
Namun, menurut keterangan resmi Wilmar, uang sebesar Rp 11,8 triliun itu merupakan uang jaminan yang diminta oleh pihak Kejagung.
"Kejaksaan Agung mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut ke Mahkamah Agung dan meminta Tergugat Wilmar untuk menunjukkan kepercayaannya terhadap sistem peradilan Indonesia dan iktikad baik serta ketidakbersalahannya, dengan menyetor uang jaminan sebesar Rp 11.880.351.802.619 [Rp 11,8 triliun]," demikian bunyi pernyataan resmi Wilmar Group, Rabu (18/6).


Adapun uang itu merupakan jumlah yang dibebankan kepada Wilmar Group akibat kerugian negara yang ditimbulkan dalam perbuatan rasuah terkait kasus tersebut.
"Tergugat Wilmar setuju untuk menyetor uang jaminan tersebut dan telah melakukannya," jelas Wilmar Group.
Wilmar Group juga menyatakan bahwa uang yang telah disetorkan ke Kejagung itu akan dikembalikan lagi jika putusan MA menguatkan vonis yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama.
"Tetapi, uang jaminan dapat dirampas, baik sebagian maupun seluruhnya, tergantung putusannya, jika Mahkamah Agung Indonesia memutuskan tidak memihak kepada Pihak Tergugat Wilmar," tutur Wilmar Group.
Dalam pernyataan itu, Wilmar Group juga menyatakan bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh pihak korporasi selama kurun waktu kasus ekspor CPO tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Tergugat Wilmar tetap menyatakan bahwa semua tindakan yang mereka lakukan dilakukan dengan iktikad baik dan bebas dari segala bentuk niat korupsi," imbuhnya.
Adapun uang senilai Rp 11,8 triliun itu disita dari lima korporasi yang tergabung dalam Wilmar Group. Lima korporasi itu yakni PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Uang sebesar Rp 11,8 triliun tersebut sesuai dengan jumlah yang dibebankan kepada kelima korporasi itu akibat kerugian negara yang ditimbulkan.
"Bahwa dalam perkembangannya, kelima terdakwa korporasi tersebut beberapa saat yang lalu mengembalikan sejumlah uang kerugian negara yang ditimbulkan. Total seluruhnya seperti kerugian yang telah terjadi yaitu Rp11.880.351.802.619 [Rp 11,8 triliun]," ucap Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno, dalam konferensi pers di Gedung Jampidsus Kejagung, Jakarta, Selasa (17/6) kemarin.
Adapun rincian masing-masing uang yang dikembalikan oleh kelima korporasi tersebut yakni:
PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp3.997.042.917.832,42;
PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39.756.429.964,94;
PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483.961.045.417,33;
PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57.303.038.077,64; dan
PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar Rp7.302.288.371.326,78.
Selanjutnya, kata Sutikno, uang sitaan itu diajukan sebagai tambahan memori kasasi atas vonis lepas yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap para terdakwa itu.
"Sehingga, keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh Hakim Agung yang memeriksa kasasi, khususnya terkait uang tersebut supaya dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para terdakwa korporasi," tutur dia.
Terpisah, Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar, menyebut bahwa uang senilai Rp 11,8 triliun itu disetor oleh lima korporasi tersebut melalui Rekening Penampungan Lainnya (RPL) Jampidsus Bank Mandiri dalam dua kali penyerahan, yakni pada 23 Mei dan 26 Mei 2025.
Setelah penyitaan itu, lanjut dia, uang tersebut tidak akan langsung disetor ke kas negara. Lantas, bagaimana statusnya?
"Nah, dilihat putusannya, itu yang saya bilang tadi, apa putusan hakim. Kalau itu dirampas untuk negara, ya kita setor ke kas negara, disetor nanti dipindahkan dia dari akun RPL itu ke kas negara, gitu," ujar Harli saat dikonfirmasi.
"Nanti kalau misalnya dia sudah inkrah, sudah berkekuatan hukum tetap, [diputuskan] uang itu dirampas untuk negara, maka jaksa eksekutor akan menyetorkan ke kas negara, berkuranglah uang di RPL, begitu," pungkasnya.
Kasus CPO
Perkara ini bermula ketika Kejagung menjerat 5 orang. Mereka adalah eks Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indra Sari Wisnu Wardhana; mantan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master, Parulian Tumanggor; mantan Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alamlestari, Stanley MA; mantan General Manager (GM) Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; dan Tim Asistensi Menko Bidang Ekonomi, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Weibinanto disebut mengobral izin ekspor kepada sejumlah eksportir. Untuk memuluskan aksinya, Weibinanto bekerja sama dengan Indra Sari dan menguntungkan sejumlah pihak. Mereka kemudian dinyatakan bersalah oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kasus tersebut kemudian berkembang dan menyeret tiga grup korporasi minyak goreng, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Dalam sidang putusan, ketiga grup tersebut dinyatakan bersalah. Namun hakim menyatakan perbuatan korporasi itu bukan suatu tindakan pidana. Dengan begitu, ketiganya dijatuhi vonis lepas atau ontslag oleh Majelis Hakim.
Sebelumnya dalam tuntutannya, JPU menuntut para terdakwa agar membayar sejumlah denda dan uang pengganti.
Terdakwa PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619. Jika tidak dibayarkan, harta Direktur PT Wilmar Group, Tenang Parulian dapat disita dan dilelang. Apabila tidak mencukupi, Tenang dikenakan subsider pidana penjara 19 tahun.
Lalu, Permata Hijau Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937.558.181.691,26. Jika tidak dibayarkan, harta pengendali lima korporasi di bawah Permata Hijau Group, David Virgo dapat disita dan dilelang. Bila tidak mencukupi, ia dikenakan subsider penjara selama 12 bulan.
Bagi terdakwa Musim Mas Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 4.890.938.943.794,1.
Jika tidak dibayarkan, harta milik Direktur Utama Musim Mas Group, Gunawan Siregar dan sejumlah pihak pengendali korporasi di bawah Musim Mas Group dapat disita dan dilelang. Bila tidak cukup, mereka mendapatkan subsider penjara masing-masing selama 15 tahun.
Lantaran vonis lepas, Kejagung kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Belakangan, Kejagung mengendus adanya dugaan suap di balik putusan lepas tersebut. Dalam pengusutan kasus itu, sudah ada delapan tersangka yang dijerat penyidik Kejagung.
Para tersangka dari pihak pemberi suap, yakni dua pengacara Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso serta pihak legal Wilmar Group, Muhammad Syafei.
Sementara, untuk pihak penerima suap ada lima orang tersangka yakni Muhammad Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda PN Jakpus) serta majelis hakim yang menyidangkan korporasi terdakwa CPO: Djuyamto, Agam Syarif, dan Ali Muhtarom.