Satu kontainer kopi Arabika Gayo dengan nilai hampir Rp 2,5 miliar semestinya sudah meluncur ke Amerika Serikat (AS). Semua dokumen sudah siap, buyer juga menyatakan minat. Namun, rencana itu batal total setelah Indonesia terkena tarif dagang 19 persen dari Presiden AS Donald Trump.
Bagi Iqbal Arisa, pemilik Teluk Gayo Coffee, keputusan untuk membatalkan pengiriman bukan hal mudah. Tapi sebagai pelaku usaha kecil menengah, ia tak bisa menanggung risiko kerugian sebesar itu sendirian.
“Buyer di Amerika itu dia enggak mau bayar tarif impor yang di Amerika. Mayoritas gitu. Jadi, mereka maunya harga deal kopi itu dimasukin ke tarif impor. Itu kan merugikan kami sebagai eksportir,” ujar Iqbal kepada wartawan di JCC Senayan, Kamis (7/8).
"Kami kemarin akhirnya enggak mau kirim. Kami juga enggak mau rugi. Karena satu kontainer itu jumlahnya hampir Rp 2,5 miliar," tambahnya.
Perang tarif membuat langkah ekspor kopi ke Amerika terhenti. Kini, Iqbal mulai mencari alternatif pasar lain seperti Asia Selatan, Timur Tengah, atau Eropa, sembari menguatkan posisi di pasar lokal yang masih penuh tantangan.
Kopi Gayo Laris di Luar, Sulit di Negeri Sendiri
Teluk Gayo Coffee adalah salah satu produsen kopi Arabika dari dataran tinggi Gayo, Aceh. Lewat berbagai pameran termasuk Karya Kreatif Indonesia (KKI), Iqbal mengaku usahanya makin dikenal pembeli internasional.
“Menurut saya membantu sih (acara KKI), karena kan kita membuka peluang pasar yang baru kan. Karena beberapa event yang ke belakang itu kita jumpa buyer dari acara ini,” ujar Iqbal.
Iqbal mengungkapkan kalau China, Jepang, dan AS adalah tiga pasar utama kopi Gayo. Permintaan dari luar negeri tinggi, karena mereka sudah terbiasa dengan budaya minum kopi berbasis mesin espresso dan konsumsi dalam jumlah besar.
Sayangnya, meski kopi Gayo berkualitas tinggi, menjualnya ke pasar lokal tidak semudah yang dibayangkan.
Dalam prosesnya, Iqbal tak hanya menjual kopi, tetapi juga mengakomodasi hasil panen dari kelompok tani di sekitarnya. Mereka menjual ceri kopi, yang kemudian diolah Teluk Gayo menjadi green bean siap jual. Namun, kehadiran perusahaan modal asing kerap mempersulit situasi.
“Di Gayo sendiri kan ada PMA. Itu kan merusak harga. Misalnya kita sama petani, harga lokal mungkin Rp 100 ribu. Tapi datang yang PMA, mereka bisa beli lebih mungkin harganya Rp 110 ribu per kilonya,” ungkap Iqbal.
Dengan sumber daya terbatas dan skema pembayaran termin, sulit bagi Teluk Gayo untuk bersaing secara langsung dengan perusahaan asing yang sanggup membayar tunai dan dalam jumlah besar.
Meski skala usahanya terbilang menengah, Iqbal menyebut Teluk Gayo punya peran besar dalam mendistribusikan manfaat ekonomi ke masyarakat sekitar.