REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Warga Palestina di Kota Gaza bersiap menghadapi agresi Israel untuk mencaplok wilayah tersebut. Walaupun risau dengan rencana tersebut, mereka bertekad tetap bertahan.
Kota di utara Gaza itu dilanda kekacauan pada Jumat setelah kabinet keamanan Israel menyetujui rencana pencaplokan tersebut. Rencana itu akan melibatkan pemindahan paksa sekitar sejuta warga Palestina yang sudah beberapa kali mengungsi ke zona konsentrasi di selatan.
“Saya bersumpah demi Allah bahwa saya telah menghadapi kematian sebanyak 100 kali, jadi bagi saya, lebih baik mati di sini,” kata Ahmed Hirz, yang telah mengungsi bersama keluarganya setidaknya delapan kali sejak perang Israel dimulai.
“Saya tidak akan pernah meninggalkan tempat ini,” katanya kepada Aljazirah. “Kami telah melalui penderitaan dan kelaparan serta penyiksaan dan kondisi yang menyedihkan, dan keputusan akhir kami adalah mati di sini.”
Sentimen serupa juga disampaikan oleh warga lain yang berbicara kepada Aljazirah. Rajab Khader mengatakan dia akan menolak pindah ke Gaza selatan, untuk “tinggal di jalanan bersama anjing dan hewan lainnya”.
"Kami harus tinggal di [Kota] Gaza bersama keluarga dan orang-orang yang kami cintai. Israel tidak akan menemukan apa pun kecuali tubuh dan jiwa kami," katanya.
Maghzouza Saada, yang sebelumnya mengungsi dari timur laut Beit Hanoon, mengungkapkan kemarahannya karena dipaksa pindah lagi, padahal tidak ada tempat di Jalur Gaza yang dianggap aman. "Selatan tidak aman. Kota Gaza tidak aman, utara tidak aman. Ke mana kami harus pergi?" dia bertanya. “Apakah kami harus menceburkan diri ke laut?”
Israel telah berulang kali membombardir Kota Gaza dan melakukan sejumlah serangan di sana. Saat ini, wilayah tersebut adalah salah satu dari sedikit wilayah di Gaza yang belum diubah menjadi zona penyangga Israel atau ditempatkan di bawah perintah evakuasi.
Umm Youssef dari Kota Gaza mengatakan dia telah meninggalkan kota tersebut selama lebih dari 16 bulan sebelum kembali ke rumahnya. “Puing-puing adalah sebuah pernyataan yang berlebihan, itu adalah tumpukan pasir. Tidak ada apa pun yang bisa ditempati di sini. Tidak ada kehidupan di sini," katanya.
Koresponden Aljazirah mengatakan warga berada dalam “kepanikan” sejak Jumat dini hari atas rencana pembersihan etnis oleh Israel di wilayah tersebut.
Dia mengatakan bahwa beberapa sudah mulai mengemas sisa barang milik mereka. "Bukan karena mereka tahu ke mana mereka akan pergi, tapi karena mereka tidak ingin terjebak pada saat-saat terakhir. Mereka ingin bersiap menghadapi keadaan saat militer Israel memaksa mereka keluar," lapor koresponden Aljazirah.
"Ketakutan, kekhawatiran, dan keputusasaan semakin meningkat. Militer Israel menjanjikan sebuah zona evakuasi di mana orang-orang, pada kenyataannya, terbunuh di wilayah tersebut," tambahnya.