KPK masih menggunakan surat perintah penyidikan (Sprindik) umum dalam mengusut kasus dugaan korupsi kuota haji 2024. Belum ada tersangka yang dijerat dalam kasus tersebut.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut penggunaan sprindik umum tersebut agar langkah KPK dalam pencarian alat bukti hingga menetapkan tersangka nantinya.
"Kami penyidik memilih untuk menggunakan sprindik umum itu karena kami masih ingin mendalami beberapa peran dari beberapa pihak," ujar Asep kepada wartawan, Sabtu (9/8).
"Sehingga, nanti dengan Sprindik umum ini kita menjadi lebih leluasa untuk mengumpulkan bukti juga mengumpulkan informasi, sehingga membuat terang sebuah perkara yang sedang kita tangani ini," jelas dia.
Dalam kasus ini, KPK mengusut dugaan korupsi terkait dengan tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu tahun 2024. Diduga ada pembagian kuota yang tidak sesuai dengan aturan.
Asep menyebut bahwa seharusnya pembagian kuota itu seharusnya 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, yang terjadi, kuota dibagi 50%-50%.
Dalam penyelidikan perkara ini, KPK sudah meminta keterangan sejumlah pihak. Termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut pada 7 Agustus 2025.
Selang sehari kemudian, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) yang sifatnya umum. Artinya, belum ada tersangka yang dijerat.
Dalam kesempatan itu, Asep pun bicara soal potensial suspect atau calon tersangka dalam kasus tersebut. Siapa?
"Potential suspect-nya adalah tentunya ini terkait dengan alur-alur perintah, kemudian juga aliran dana. Jadi terkait dengan siapa yang memberikan perintah terhadap pembagian kuota yang tidak sesuai dengan aturan ini," ucap Asep.
"Kemudian juga dari aliran dana, siapa pihak-pihak yang menerima aliran dana yang dikaitkan dengan penambahan kuota tersebut," paparnya.
Minta Pihak yang Diduga Terima Untung Tanggung Jawab
Dalam mengusut kasus itu, lembaga antirasuah menyatakan bakal meminta pertanggungjawaban kepada pihak yang diduga menerima aliran dana hasil rasuah kasus tersebut.
Asep menyebut, hal itu lewat pencarian alat bukti berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor yang bakal dikenakan kepada tersangka.
"Aliran dana baik itu dalam konteks karena pembagian kuota, misalkan dari pihak pemerintah, oknum pihak pemerintah atau Kementerian Agama, yang karena keputusannya memberikan kuota haji ini tidak sesuai dengan aturan kemudian mendapatkan sejumlah uang," kata Asep.
"Nah itu akan menjadi objek untuk kami minta pertanggungjawaban supaya dikembalikan, seperti itu," terangnya.
Tak hanya itu, KPK juga bakal mengusut dugaan aliran dana rasuah yang diduga diterima oleh pihak perusahaan travel yang seharusnya tidak menerima kuota haji tersebut.