
RUZKA-REPUBLIKA NERWORK -- Saya betul-betul kaget ketika mendengar doa yang dipimpin Mufti Aimah Nurul Anam, anggota DPR dari PDIP, pada Rapat Paripurna DPR RI pekan lalu (Jumat, 15 Agustus 2025). Bayangkan, Mufti membuka doa bukan dengan bacaan yang standar-standar saja, melainkan dengan Shalawat Fatih.
Wah, ini menarik. Bayangan saya, doa di Paripurna di hadapan Presiden Prabowo Subianto, Ketua DPR Puan Maharani, hingga para petinggi negara, biasanya formal, kaku, dan mungkin hanya jadi “ritual” sebelum semua orang mulai cek HP masing-masing. Tapi Mufti memilih jalur agak “mistik” dengan membaca shalawatnya kaum Tarekat Tijaniyah.
Tarekat Tijaniyah ini didirikan oleh Syekh Ahmad at-Tijani (1737–1815) di Afrika Utara dan sudah lama tersebar luas hingga Asia, termasuk Indonesia.
Di dalam tarekat inilah Shalawat Fatih menjadi wirid utama, bahkan disebut sebagai “kunci segala pintu” untuk memperoleh kedekatan dengan Allah dan Rasul-Nya.
Baca juga: Inilah Rekomendasi Senator Terkait Program Pemutihan Ijazah di Jakarta
Namun, teks asli Shalawat Fatih sendiri diyakini bukan ciptaan Ahmad at-Tijani, melainkan karya Syekh Muhammad Syamsuddin al-Bakri (w. 994 H/1586 M), ulama besar Mesir.
Ibaratnya, kalau al-Bakri jadi penulis partitur orkestra, maka at-Tijani adalah konduktor yang membuat Shalawat Fatih menggema ke seluruh dunia Islam.
Fenomena doa di DPR ini sekaligus membuka pertanyaan: mengapa Shalawat Fatih muncul di ruang politik paling tinggi negeri ini? Apakah shalawat itu bisa sekaligus menjadi fatih (pembuka) kebuntuan politik, jalan tol keadilan sosial, atau minimal pembuka dompet APBN yang sering tertutup rapat untuk kepentingan rakyat kecil?
Penelitian psikologi agama oleh Hood dkk. _(The Psychology of Religion, 2018)_ menunjukkan, bacaan doa repetitif dapat menurunkan tingkat stres, meningkatkan fokus, dan memberi rasa keterhubungan spiritual. Jadi secara saintifik, tak salah DPR mendengar Shalawat Fatih di sela-sela ribut soal pasal, proyek, atau kursi pimpinan.
Baca juga: Pertajam Kecerdasan Finansial, PLN Icon Plus Gelar Financial Wellbeing with Mandiri Group
Pertanyaan selanjutnya: apakah shalawat itu juga menurunkan kadar korupsi? Nah, ini butuh riset lanjutan —dan mungkin butuh Shalawat Fatih versi “audit investigatif”.
Penelitian Vincent Cornell (1998) dalam Realm of the Saint menunjukkan bagaimana shalawat ini diposisikan sebagai “channel langsung” menuju kedekatan dengan Nabi SAW, bahkan disebut melebihi pahala shalawat lain.
Nah, di sinilah kalangan sekuler memunculkan kritik: benarkah ada shalawat yang lebih unggul secara “point reward”? Apakah ini sistem gamifikasi spiritual, baca sekali dapat poin setara 600 ribu bacaan lain? Tentu saja bisa, asal Anda percaya.
Di Indonesia, Shalawat Fatih dipopulerkan bukan hanya sebagai bacaan dzikir, tapi juga kadang diniatkan sebagai “wasilah hajat”. Ada yang meyakini: baca 11 kali untuk rezeki, 41 kali untuk kesembuhan, 100 kali untuk naik level spiritual, dan 444 kali untuk “paket lengkap” dari utang lunas sampai usaha lancar.
Baca juga: Dukung Target Net Zero Emission 2060, Pertamina Salurkan SAF Produksi Dalam Negeri
Sebetulnya, shalawat apa pun dasarnya adalah doa kepada Allah agar menambah kemuliaan Nabi Muhammad SAW, dan dari situ kita berharap limpahan berkah. Tetapi ketika shalawat dibaca dengan niat lain —“baca 1000x malam Jumat, besok langsung bisa bayar utang tanpa usaha”— maka kita sedang menukar dzikir dengan paket data.
Penelitian Martin van Bruinessen (1992) tentang tarekat di Indonesia menunjukkan, wirid tertentu sering dilekatkan pada janji “manfaat praktis” karena masyarakat butuh imajinasi bahwa doa mereka berdampak langsung ke urusan perut dan dompet. Ini bukan sekadar tahayul, tapi refleksi ekonomi umat yang cemas dengan masa depan.
Kembali ke Paripurna DPR: Mufti Anam membaca Shalawat Fatih di hadapan para pejabat negara. Dari sisi simbolik, ini bisa positif: mengingatkan elite bahwa ada kekuatan spiritual di atas mereka. Tapi jangan lupa, doa bukan sarana mencuci dosa-dosa politik yang menyengsarakan dan menzalimi rakyat.
Kalau shalawat dipakai untuk memoles wajah lembaga yang penuh kasus, mulai dari membuat Undang-Undang omni yang ditentang rakyat hingga korupsi berjamaah, maka jadinya bukan Fatih (pembuka berkah) yang didapat, melainkan Fetish alias pemuasan simbolik belaka.
Baca juga: Mengubah Hidup dengan Filosofi Tiga Hal ala Elon Musk
Kita perlu refleksi: alih-alih hanya memperbanyak shalawat di panggung politik, lebih konstruktif jika semangat Shalawat Fatih —“pembuka yang tertutup”— juga diterjemahkan ke dalam kerja nyata. Jadi, selain pahala didapat dari shalawat, juga manfaat keberadaan mereka bagi rakyat.
Bukalah akses pendidikan bagi rakyat miskin. Bukalah kunci birokrasi yang menghambat UMKM. Bukalah pintu keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Kalau semua kebuntuan itu terbuka, barulah shalawat yang dibaca di Senayan terasa bermakna.
Walhasil, shalawat Fatih memang istimewa. Ia lahir dari tradisi tarekat yang mendunia, beredar di masyarakat, kini sampai ke ruang politik. Namun jangan sampai “rajanya shalawat” ini hanya jadi jargon spiritual tanpa dampak nyata.
Seperti kata pepatah Arab, al-du‘a bila ‘amal ka al-sahm bila qaws —doa tanpa usaha ibarat panah tanpa busur. Kita bisa membaca Shalawat Fatih seribu kali, tapi kalau RUU disusun hanya untuk oligarki, maka rakyat tetap tidak kebagian berkahnya.
Mungkin ke depan, yang kita butuhkan bukan hanya “Shalawat Fatih” di gedung DPR, tapi juga “Shalawat Fathanah” —pencerahan akal sehat agar kebijakan negara betul-betul berpihak pada kaum mustad'afin, orang-orang yang lemah dan yang dilemahkan. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 22/8/2025