Bank Indonesia (BI) menyebutkan perubahan iklim dapat menimbulkan kerugian ekonomi serius bagi Indonesia.
Jika tidak ada tindakan mitigasi, kerugian yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun, dan terus meningkat hingga 40 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2048.
“Sekarang itu rata-rata hampir kerugian mencapai Rp 100 triliun. Kalau sampai tidak melakukan apa-apa, bisa menjadi tadi kerugiannya menjadi meningkat menjadi sama dengan 40 persen terhadap PDB,” kata Kepala Grup Ekonomi Keuangan Hijau BI, Kurniawan Agung, dalam acara Karya Kreatif Indonesia di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (8/8).
Berdasarkan data Swiss Re Institute yang dipaparkan Agung, proyeksi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim untuk Indonesia bahkan bisa jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Di mana, pada tahun 2050, dampak perubahan iklim diperkirakan memangkas ekonomi global sebesar 18 persen.
Kerugian ini antara lain disebabkan kerusakan infrastruktur, penurunan nilai aset, gagal panen, terganggunya distribusi barang dan konektivitas, serta semakin tingginya risiko bencana seperti banjir, gelombang tinggi, dan kekeringan.
Bank sentral menegaskan, risiko iklim bukan hanya ancaman, tapi juga dapat menjadi peluang pembiayaan apabila ditangani dengan baik.
“Sekarang ini seperti yang kami sampaikan tadi, risiko iklim ini ada sesuatu yang nyata, dan ke depan akan semakin besar sehingga perlu konkret. Kita sebagai negara agraris dan maritim itu memiliki potensi risiko yang besar kalau kita nggak ngapa-ngapain gitu ya,” ujar Agung.
Lebih lanjut, dia menjelaskan risiko tak hanya datang dari sisi fisik, tetapi juga dari sisi transisi menuju ekonomi rendah karbon. Katanya, negara yang tidak cepat beradaptasi bakal menghadapi risiko tambahan dari dinamika pasar global.
"Pertama adalah embargo pada impor produk non-hijau, ini bisa kena pajak karbon juga untuk produk-produk kita termasuk UMKM hijau yang ekspor. Kalau misalnya tanpa ada perubahan apa pun bisa kena pajak karbon yang tentunya ini akan merugikan secara penerimaan devisa kita," ucapnya.
Risiko lainnya ialah penurunan credit rating bagi perusahaan non-hijau dan penurunan nilai aset karena pergeseran preferensi global terhadap produk dan investasi ramah lingkungan.
Di sisi lain, Agung menilai keterlibatan bank sentral dalam mendorong pembiayaan hijau dinilai penting karena berkaitan langsung dengan mandat utama menjaga stabilitas harga dan sistem keuangan.
Agung melanjutkan, risiko iklim berdampak langsung pada inflasi, khususnya pangan, akibat terganggunya produksi dan distribusi akibat cuaca ekstrem.
Agung juga menekankan di tengah risiko perubahan iklim, Indonesia justru memiliki peluang besar untuk menarik pembiayaan internasional, terutama dari negara-negara maju yang fokus pada isu lingkungan.
Dengan wilayah yang luas dan fondasi ekonomi yang kuat, Indonesia dinilai memiliki daya tarik tinggi bagi investor global yang peduli pada keberlanjutan. Negara-negara seperti Eropa, Jepang, dan AS disebut sebagai contoh pasar potensial yang dapat menjadi sumber investasi hijau.
"Banyak juga investor-investor yang konsen hijau dan mungkin bisa kita tarik nih, ratusan triliun atau mungkin ribuan triliun yang bisa kita tarik untuk ikut m...