REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Tantangan dalam dunia radiologi di Indonesia masih berkutat pada dua hal utama. Yakni, kualitas sumber daya manusia (SDM) dan distribusi peralatan yang belum merata di seluruh wilayah.
Menurut Direktur Ketahanan Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Jeffri Ardiyanto, belanja alat kesehatan nasional saat ini masih didominasi impor. Pada 2023, pengadaan alat kesehatan mencapai 30 persen dari total anggaran kesehatan sebesar Rp 606 triliun, namun mayoritas masih impor.
“Produksi dalam negeri hanya 16 ribu unit dari 470 jenis, sedangkan impor mencapai 56 ribu unit dari 1.500 jenis,” ujar Jeffri di acara Radex 2025 – Radiology & Hospital Equipment Expo yang digelar Perhimpunan Radiografer Indonesia (PARI) Jawa Barat di Graha Siliwangi, Bandung, pada 8–10 Agustus 2025.
Menurut Jeffri, pihaknya mencatat adanya peningkatan produksi alat kesehatan yang cukup signifikan pada 2024. Yakni, belanja alat produksi lokal naik menjadi 48 persen. Lonjakan ini, cukup drastis karena pada 2019 hanya 12 persen. Jeffri juga menekankan bahwa program layanan kesehatan gratis, penurunan angka tuberkulosis, serta pembangunan 60 rumah sakit baru di berbagai daerah memerlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri alat kesehatan dan tenaga radiografer.
Sementara menurut CEO PT Mulya Husada Jaya, Yosua Yusak Kurniawan, dari sisi teknologi, Indonesia tak tertinggal dibanding negara maju. “Teknologi alat-alat radiologi kita sudah sangat canggih dan selevel dengan global. Namun, pemanfaatannya belum maksimal karena keterbatasan SDM,” kata Yosua.
Ia menambahkan, banyak tenaga kesehatan belum menguasai seluruh fitur dari perangkat yang digunakan. Oleh karena itu, pelatihan terpadu antara produsen, pengguna, dan pemerintah perlu diperkuat agar teknologi benar-benar bisa dimanfaatkan secara maksimal. “Distribusi peralatan dan SDM yang kompeten harus merata agar layanan radiologi tidak hanya dinikmati kota besar, tapi juga menjangkau daerah-daerah terpencil,” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum PARI, Sugiyanto. Ia menekankan bahwa radiografer harus terus mengasah kemampuan teknis agar tidak tertinggal dari perkembangan alat kesehatan yang begitu cepat. “Peralatan radiologi terus berkembang setiap tahun. Jika tidak terus belajar, tenaga radiografer bisa tertinggal jauh,” katanya.
Mahasiswa radiografi, kata dia, hanya mendapat dasar. Setelah bekerja, wajib memperbarui kemampuan sesuai perkembangan teknologi.
Ketua PARI Jabar, Jusuf Iskandar, menegaskan bahwa Radex 2025 hadir sebagai wadah strategis yang mengintegrasikan teknologi, pendidikan, dan kolaborasi industri untuk mempercepat kemajuan radiologi di Indonesia.
“Kami berharap Radex bisa menjadi penggerak transformasi radiologi nasional dan memperkuat kolaborasi lintas profesi demi pelayanan yang lebih berkualitas dan modern,” katanya.
Selain pameran peralatan radiologi dan rumah sakit, Radex 2025 juga menghadirkan simposium ilmiah, diskusi interaktif, kompetisi karya tulis, hingga layanan kesehatan gratis seperti pemeriksaan darah, donor darah, dan USG. Acara ini juga diramaikan dengan hiburan serta sesi networking antarprofesi.