REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Terungkapnya ambisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu soal “Israel Raya” memicu kemarahan serentak negara-negara Arab. Apa sebenarnya rencana yang diperkirakan bakal membakar Timur Tengah tersebut?
Merujuk arsip Harian Republika, Israel Raya merujuk pada konsep ideologis yang diusulkan oleh beberapa kelompok di Israel yang bertujuan untuk memperluas wilayah negara Israel melebihi batas-batas yang diakui PBB dan komunitas internasional, termasuk ke dalam wilayah-wilayah yang dihuni oleh warga Palestina. Konsep ini kali melibatkan keyakinan bahwa seluruh tanah yang dianggap sebagai Tanah Israel (Eretz Yisrael) harus menjadi bagian dari negara Israel.
Satu aspek dari ide Israel Raya ini adalah dukungan terhadap pemukiman Yahudi di Tepi Barat, di mana lebih 700 ribu pemukim telah ditempatkan sejak Israel merebut wilayah tersebut pada 1967. Pemukiman ini sering kali menjadi sumber ketegangan, dengan banyak kritik yang menuduh bahwa pemerintah Israel mendukung atau mengizinkan kekerasan yang dilakukan oleh pemukim terhadap warga Palestina.
Israel Raya juga berhubungan dengan kebijakan politik sayap yang semakin dominan di Israel, yang terlihat dalam pendidikan dan kurikulum yang lebih menekankan pada keunggulan identitas Yahudi, seringkali mengabaikan hak-hak warga non-Yahudi.
Setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel berhasil menguasai lebih banyak wilayah Arab, gagasan untuk memperluas wilayah ini menjadi lebih nyata di kalangan sebagian kelompok pemukim Yahudi dan para pendukung ideologi Zionisme yang ekstrem. Mereka berargumen bahwa wilayah-wilayah tersebut harus menjadi bagian dari Israel Raya sebagai bagian dari sejarah dan identitas Yahudi.
Istilah “Israel Raya” mengacu pada gagasan tentang negara Yahudi yang berkembang di sebagian besar Timur Tengah sebagai reinkarnasi dari apa yang Alkitab gambarkan sebagai wilayah suku-suku Israel kuno, kerajaan Israel, atau tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Ibrahim dan keturunannya. Setidaknya ada tiga versi ‘Israel Raya’ di dalam Alkitab.
Dalam kitab Kejadian, Tuhan menjanjikan Ibrahim tanah “dari sungai Mesir sampai sungai Efrat,” untuk dia dan keturunannya. Dalam kitab Ulangan, Tuhan memerintahkan Musa untuk memimpin orang-orang Ibrani dalam pengambilalihan tanah yang mencakup seluruh Palestina, seluruh Lebanon, dan sebagian Yordania, Suriah, dan Mesir. Dan dalam kitab Samuel menggambarkan 'monarki bersatu' yang didirikan oleh Raja Saul dalam Alkitab, kemudian diperluas oleh Raja Daud dalam Alkitab hingga mencakup Palestina tanpa gurun Negev, sebagian Yordania, seluruh Lebanon, dan sebagian Suriah.
Mondoweiss mencatat, pada awal abad ke-20, perdebatan mengenai batasan negara Yahudi yang belum terbentuk menjadi alasan utama munculnya arus revisionis dalam gerakan Zionis. Dalam Deklarasi Balfour tahun 1917, Inggris berjanji untuk mendirikan “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina.” Nama “Palestina” pada dasarnya menggambarkan wilayah antara Sungai Yordan dan Mediterania selama 4.000 tahun, dengan batasan yang berbeda-beda, seringkali sebagai bagian dari Suriah atau provinsinya sendiri di bawah kerajaan yang berbeda. Namun karena perbatasan belum ditentukan di wilayah Syam yang dikuasai Ottoman, tepi timur Sungai Yordan secara luas dipandang sebagai perpanjangan tangan Palestina.