Film 21+ (ilustrasi). Data LSF menunjukkan bahwa dari total 58 ribu film yang diproduksi pada periode 2023 hingga 2024, jumlah film kategori 21+ masih sangat minim.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Naswardi menyoroti adanya kesenjangan antara permintaan pasar dan produksi film nasional dengan klasifikasi usia 21 tahun ke atas. Menurutnya, meskipun para pembuat film di Indonesia cenderung menghindari kategori ini, menurut dia, minat masyarakat terhadap film-film dewasa sangat tinggi.
Atas dasar itulah, Naswardi mendorong para sineas agar lebih berani memproduksi karya-karya yang menargetkan penonton dewasa. “Pada umumnya para pelaku film di Indonesia menghindari filmnya diberikan klasifikasi dewasa 21 tahun ke atas. Tetapi pada faktanya permintaan untuk film nasional dengan klasifikasi usia 21 tahun ke atas itu tinggi. Nah ini yang ingin kami dorong kepada para sineas, filmmaker di Indonesia,” kata Naswardi dalam acara konferensi pers Anugerah LSF 2025 di Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Dia menyebut, data LSF menunjukkan bahwa dari total 58 ribu film yang diproduksi pada periode 2023 hingga 2024, jumlah film kategori 21+ masih sangat minim dibandingkan dengan kategori 17+ atau Semua Umur (SU). Padahal, lanjut Naswardi, beberapa film dengan klasifikasi 21+ berhasil menarik jutaan penonton.
Ketua Komisi I di LSF, Wiwid Setya, mengatakan film dengan klasifikasi 21+ tetap dapat lolos sensor asalkan kontennya proporsional. Ia menegaskan, film yang menampilkan adegan sensitif seperti pornografi dan kekerasan bisa diterima selama tidak melanggar aturan hukum dan etika. "Kalau memang misalnya kalau pornografi tidak ditunjukkan untuk membangkitkan syahwat misalnya gitu, itu kami masih bisa mengklasifikasikan 21+. Kemudian misalnya kekerasan bukan kebrutalan yang menabrak rambu hukum juga masih bisa diterima. Jadi kata kunci 21+ itu boleh tapi proporsional,” ujar Wiwid.
Wiwid juga menyoroti bagaimana film-film 21+ mendapatkan apresiasi lebih di kancah internasional karena dianggap sebagai bentuk kebebasan berkreasi. Oleh karena itu, ia menyarankan agar para sineas yang memiliki karya film dengan klasifikasi ini untuk mencoba melombakannya di ajang internasional sebelum mendaftarkannya ke LSF untuk penayangan di Indonesia.