
Menteri Perdagangan periode 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, menjelaskan alasannya mencicipi Gula Kristal Rafinasi (GKR) saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang kasus dugaan korupsi importasi gula.
Dalam persidangan, kubu Tom juga membawa Gula Kristal Mentah (GKM) dan Gula Kristal Putih (GKP) yang masing-masing dimasukkan ke dalam toples bening.
Tom Lembong mengaku sempat merasa kesal dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sempat menyatakan bahwa gula rafinasi bahaya dikonsumsi masyarakat. Hal itu yang kemudian membuatnya mencoba langsung gula rafinasi di persidangan.
"Kemudian tadi setengah iseng, kami bawa contoh gula mentah, gula rafinasi, dan gula putih. Karena apa? Saya agak bete," kata Tom di sela-sela persidangan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (1/7).
"Beberapa sidang yang lalu ada [Jaksa] Penuntut yang bilang bahwa, kan bahaya sekali kalau sampai gula rafinasi itu dikonsumsi oleh masyarakat," jelas dia.

Tom menyebut, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa gula rafinasi lebih bersih ketimbang gula putih yang merupakan gula konsumsi.
"Yang banyak orang tidak ketahui, gula rafinasi itu lebih bersih, lebih murni daripada yang kita kenal sebagai gula putih, gula konsumsi," tutur dia.
"Jadi, tadi kita bawa sampelnya, kita perlihatkan kepada hakim, kepada jaksa, kemudian saya ambil satu sendok gula rafinasi, dan saya mengkonsumsinya sendiri," paparnya.
Tom pun menekankan bahwa langkah itu dilakukannya dalam persidangan untuk mengoreksi pernyataan yang sebelumnya diutarakan jaksa.
"Jadi, mari kita lihat bersama, kita pantau apakah pada akhir hari ini atau pada akhir minggu ini saya mengalami gangguan kesehatan, akibat mengkonsumsi gula rafinasi yang oleh seorang Penuntut di beberapa sidang yang lalu, sempat dibilang bahaya sekali kalau sampai dikonsumsi oleh masyarakat," ucap Tom.
"Jadi, sekaligus mengoreksi mispersepsi atau ketidakakuratan pernyataan-pernyataan dalam persidangan," imbuhnya.
Adapun momen Tom mencicipi gula rafinasi itu terjadi di tengah-tengah pemeriksaannya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Gula rafinasi itu dibawa oleh kubu Tom Lembong bersama dengan gula mentah dan gula putih di hadapan Majelis Hakim yang menangani perkaranya. Ia pun menjelaskan karakteristik masing-masing jenis gula tersebut.
"Ini yang kita kenal sebagai gula kristal putih yang ICUMSA-nya [International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis, organisasi internasional yang menetapkan standar dan metode untuk analisis gula] lebih tinggi daripada gula rafinasi, berarti lebih kotor," ucap Tom.
"Kemudian, ini yang kita kenal sebagai gula rafinasi, sangat putih. Ini ICUMSA-nya lebih rendah daripada gula konsumsi kita. Ini adalah gula mentah," paparnya.
Tom kemudian menyinggung pernyataan jaksa yang sempat menyebut bahwa gula rafinasi bahaya dikonsumsi. Sesaat kemudian, dia langsung mencicipi satu sendok gula rafinasi tersebut.
"Saya hanya mau mengilustrasikan ini adalah gula rafinasi, gula putih yang di persidangan sebelumnya pernah disampaikan Penuntut, bahaya untuk dikonsumsi oleh masyarakat," ujar Tom.
"Dan sekarang saya mau ilustrasikan," lanjutnya sambil mencicipi gula rafinasi itu dan menghadap ke meja jaksa.
Lebih lanjut, Tom juga menerangkan terkait karakteristik gula mentah.
"Kalau gula mentah kami rekomendasikan untuk tidak dikonsumsi dan itu bahan baku industri yang belum dimurnikan," terang Tom.
"Sesuai keterangan ahli sebelumnya, gula mentah sangat gampang dibedakan di pelabuhan oleh petugas Bea Cukai, dari warnanya, tidak mungkin salah deklarasi," imbuhnya.
Sebelum kembali ke tempat duduknya, Tom pun sempat berkelakar terkait kondisinya pasca-mengkonsumsi gula rafinasi tersebut.
"Kita lihat apakah pada akhir hari ini atau minggu ini saya mengalami masalah kesehatan akibat mengkonsumsi gula rafinasi," tutur dia sambil sedikit tertawa.
Kasus Importasi Gula
Dalam perkara ini, Tom Lembong telah didakwa melakukan korupsi importasi gula. Perbuatan itu disebut turut merugikan keuangan negara hingga Rp 578,1 miliar.
Menurut jaksa, Tom Lembong menerbitkan persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) tanpa didasarkan rapat koordinasi dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Persetujuan impor itu diberikan kepada sepuluh perusahaan gula swasta, yakni PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, PT Berkah Manis Makmur, PT Kebun Tebu Mas, dan PT Dharmapala Usaha Sukses.
Jaksa menyebut total ada 21 surat persetujuan impor GKM yang dikeluarkan oleh Tom Lembong kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
Izin itu disebut menyebabkan kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan Gula Kristal Putih (GKP) untuk penugasan stabilisasi harga/operasi pasar. Selain itu, menyebabkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Kedua hal tersebut telah merugikan negara senilai Rp 515 miliar. Angka ini menjadi bagian kerugian negara yang berdasarkan audit nilainya mencapai Rp 578,1 miliar.
Selain itu, Tom juga disebut memberikan izin kepada PT Angels Products untuk mengimpor GKM dan mengolahnya menjadi GKP. Padahal, saat itu stok GKP dalam negeri mencukupi.
Kemudian, Tom Lembong juga disebut tidak mengendalikan distribusi gula tersebut. Di mana, distribusi gula itu seharusnya dilakukan melalui operasi pasar.
Jaksa menyebut kerugian negara dalam kasus ini adalah sebesar Rp 578.105.411.622,47 atau Rp 578,1 miliar. Merujuk pada perhitungan dari BPKP.
Pihak Tom Lembong Bantah Dakwaan
Pihak Tom Lembong membantah dakwaan korupsi yang disusun jaksa. Kuasa Hukum Tom Lembong, Ari Yusuf, menilai kliennya dipaksa bertanggung jawab oleh jaksa.
"Bahkan dalam dakwaan, terdakwa Thomas Trikasih Lembong dipaksa untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain," kata Ari Yusuf saat membacakan nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/3) lalu.
"Hal ini menunjukkan jaksa penuntut umum sesungguhnya telah error in persona dalam perkara ini," imbuhnya.
Ari menyebut, kasus korupsi yang menjerat kliennya sebagai tersangka terkesan dipaksakan oleh Kejaksaan Agung.
"Kasus ini jelas-jelas dipaksakan untuk menjerat terdakwa secara sewenang-wenang karena pasal-pasal dalam undang-undang yang dituduhkan untuk menjerat terdakwa tidak ada sama sekali yang terkait dengan Undang-Undang Tipikor, sebagaimana lex specialis," ungkapnya.
"Tetapi, terkait dengan undang-undang yang lain yang bukan menjadi kompetensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mengadilinya," pungkas dia.