
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan ketidakpastian ekonomi global kembali memuncak memasuki pertengahan tahun 2025. Ia menyoroti kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat sebagai salah satu penyebab utama ketidakstabilan tersebut.
Pada April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan tarif resiprokal terhadap berbagai negara mitra dagang, termasuk China. Langkah ini memicu gelombang retaliasi dari Negeri Tirai Bambu, memperparah tensi perdagangan yang sudah lama mengganggu rantai pasok global.
“Seperti diketahui, ketidakpastian perekonomian global padat di bulan kedua, yaitu periode April, Mei hingga Juni tetap tinggi. Ini akibat kebijakan tarif resiprokal yang dilakukan AS dan juga ketegangan geopolitik terutama di Timur Tengah,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di Kantor LPS, Senin (28/7)
Sri Mulyani menganggap langkah proteksionis AS itu memicu perlambatan ekonomi di berbagai negara. Ekonomi China, misalnya, hanya tumbuh 5,2 persen secara tahunan pada kuartal II 2025, turun dari 5,4 persen di kuartal sebelumnya. Penurunan ekspor ke AS menjadi faktor utama pelemahan ini.
Amerika Serikat sendiri, bersama negara-negara maju seperti Jepang dan di Eropa, juga menunjukkan perlambatan pertumbuhan. Ketegangan di Timur Tengah turut memperburuk sentimen global, menciptakan gejolak di pasar modal dan perdagangan internasional.
Pergeseran arus modal terjadi secara signifikan. Sri Mulyani menilai Investor global kini banyak mengalihkan dananya dari pasar AS ke aset yang dianggap lebih aman, seperti instrumen keuangan di Eropa, Jepang, hingga komoditas seperti emas. Di sisi lain, muncul juga aliran modal ke negara berkembang, yang mendorong penguatan mata uang mereka terhadap dolar AS.
Namun, ketidakpastian ini berdampak pada penyesuaian proyeksi ekonomi global oleh lembaga-lembaga internasional. Bank Dunia dalam laporan Juni 2025 menurunkan proyeksi pertumbuhan global dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen. OECD juga merevisi turun proyeksi pertumbuhannya dari 3,1 persen ke 2,9 persen.
“Ini adalah lingkungan yang kami amati dan kita waspadai,” tegas Sri Mulyani.
Meski dibayangi tekanan eksternal, Sri Mulyani tetap optimistis Indonesia mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menilai konsumsi dan daya beli masyarakat masih kuat, didukung aktivitas dunia usaha yang relatif tahan banting. Peran APBN sebagai instrumen counter-cyclical juga diandalkan untuk menopang stabilitas ekonomi domestik.
Berbagai stimulus telah digelontorkan sejak kuartal I dan II 2025, termasuk dorongan terhadap sektor-sektor strategis seperti infrastruktur dan industri padat karya. Di saat yang sama, program bantuan sosial ditingkatkan untuk melindungi masyarakat rentan dari dampak ketidakpastian global.
Menariknya, Indonesia berhasil menjalin negosiasi yang cukup strategis dengan Amerika Serikat. Sri Mulyani menyampaikan, tarif resiprokal terhadap produk Indonesia berhasil ditekan menjadi 19 persen dinilainya akan memberi dampak positif terhadap ekspor.
“Keberhasilan dari negosiasi penurunan tarif resiprokal Amerika Serikat untuk Indonesia menjadi 19 persen diperkirakan dapat mendorong kinerja sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furniture,” tutur Sri Mulyani.
Sementara itu, produk AS yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif 0 persen. Kebijakan ini berpotensi menurunkan harga bahan baku penting seperti migas dan pakan ternak, yang pada gilirannya bisa mengurangi beban biaya sektor produksi dalam negeri.
Sri Mulyani tak menutup mata terhadap risiko lanjutan dari ketegangan global, terutama terhadap sektor manufaktur. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat berada di zona kontraksi pada Juni 2025, di angka 46,9. Ini menunjukkan penurunan aktivitas industri yang masih perlu diantisipasi secara serius.
Stabilitas nilai tukar rupiah juga menjadi perhatian utama pemerintah dan Bank Indonesia. Rupiah sempat tertekan ke level Rp 16.865 per dolar AS pada April 2025, namun berangsur menguat menjadi Rp 16.235 per dolar AS di akhir Juni. Intervensi aktif BI, baik di pasar valas domestik maupun offshore non-deliverable forward (NDF), serta peningkatan konversi devisa ekspor ke rupiah, terbukti memberi efek stabilisasi.
“Nilai tukar rupiah terhadap dolar menunjukkan tren penguatan didukung oleh konsistensi kebijakan stabilisasi Bank Indonesia di tengah kemasin tingginya ketidakpastian global,” ujar Sri Mulyani.
Cadangan devisa Indonesia tetap berada pada posisi aman, sebesar USD 152,6 miliar pada akhir Juni, atau setara dengan 6,4 bulan impor. Angka ini jauh di atas standar kecukupan internasional yang hanya 3 bulan impor.
Sementara itu, inflasi domestik juga terkendali. Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat hanya 1,87 persen pada Juni 2025, sehingga menjaga daya beli masyarakat tetap stabil di tengah tekanan eksternal.
Sri Mulyani juga terus mendorong kontribusi sektor swasta melalui deregulasi dan dukungan terhadap investasi. Ia memastikan kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi akan terus diperkuat demi menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen hingga akhir 2025.