
SELANDIA Baru menjadi benua terakhir yang masih bebas dari virus flu burung. Namun, dengan musim migrasi burung yang semakin dekat, konservasionis menaruh harapan besar pada vaksinasi untuk melindungi spesies paling langka di negara itu.
Salah satunya adalah kakapo, burung nuri terbesar di dunia, tidak bisa terbang, dan kini hanya tersisa kurang dari 250 ekor. Ancaman bisa muncul ketika burung laut yang membawa virus H5N1 mendarat di pulau tempat kakapo berkembang biak. Interaksi tak sengaja bisa menularkan virus mematikan ini ke populasi kakapo, yang berada di ambang kepunahan.
Untuk menghadapi risiko tersebut, Departemen Konservasi Selandia Baru pada Agustus lalu mengumumkan keberhasilan uji coba vaksinasi pada beberapa burung paling langka. Program ini menggunakan vaksin H5N3 yang sebelumnya dipakai pada unggas dan menjadi upaya pertama di dunia yang memvaksinasi beberapa spesies sekaligus.
Dalam program percobaan ini, hingga 10 burung dari lima spesies kritis divaksinasi dua dosis sebulan sekali. Hasilnya, empat spesies menunjukkan respon antibodi yang kuat bertahan setidaknya enam bulan. Spesies yang divaksinasi antara lain: kakapo, takahe, kaki (black stilt), tuturuatu (shore plover), dan satu jenis kakariki.
Kate McInnes, dokter hewan konservasi dan penasihat senior ilmiah departemen, mengatakan vaksinasi ini bisa melindungi populasi inti di penangkaran serta populasi kakapo di pulau lepas pantai, sebelum burung liar yang membawa virus tiba.
Program ini tidak sederhana. Vaksinasi harus dijalankan dengan strategi matang, karena memberi vaksin pada burung liar memerlukan penangkapan, pengulangan dosis, dan risiko stres bagi hewan. “Kamu tidak bisa begitu saja menangkap semua burung di hutan dan menyuntik mereka,” kata McInnes.
Negara lain, seperti Australia, memantau ketat upaya ini. Mereka sedang menguji vaksinasi pada spesies pengganti untuk mempersiapkan musim migrasi, mengingat flu burung kini sudah menyebar hingga Antarktika. Pemerintah Australia telah mengalokasikan A$100 juta untuk pencegahan flu burung, termasuk perlindungan populasi burung langka di penangkaran.
Di Amerika Serikat, pengalaman vaksinasi darurat pada California condor menunjukkan bahwa strategi ini bisa berhasil. Setelah vaksinasi awal pada 40 burung, pemerintah berhasil memvaksinasi 207 condor, termasuk 134 burung yang dilepas bebas, dengan respons antibodi yang aman dan efektif.
Namun, vaksinasi bukan solusi tunggal. Para ahli memperingatkan bahwa virus dapat berkembang, dan vaksinasi yang tidak lengkap bisa mendorong evolusi virus lebih berbahaya. Strategi pengelolaan habitat dan kesehatan populasi liar tetap menjadi prioritas.
Selandia Baru berencana memvaksinasi populasi penangkaran dan keturunan mereka sebelum dilepas ke alam liar, menunggu persetujuan regulasi darurat. Waktu pelaksanaan akan ditentukan oleh perkiraan kedatangan virus ke perairan Selandia Baru. “Kalau terlalu cepat, antibodi bisa hilang sebelum dibutuhkan. Kalau terlalu lambat, momen krusial bisa terlewatkan,” jelas McInnes. (The Guardian/Z-2)