REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Turut campurnya Sukarno di pemerintahan pada era demokrasi liberal-parlementer memuncak usai Pemilu 1955. Ketika itu, kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh. Kemudian, Bung Karno berinisiatif menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet-yang-baru.
“Istilahnya Bung Karno, menunjuk seorang warga negara yang bernama Sukarno menjadi formatur kabinet. Nah, bagi Bung Hatta, ini tak bisa. Jadi, daripada bertengkar, lebih baik Bung Hatta meletakkan jabatan," kata sejarawan senior, Prof Taufik Abdullah, dikutip dari Pusat Data Republika.
Mengapa Sukarno tidak ingin menjadi sebatas kepala negara yang tanpa kekuasaan eksekutif langsung? Sebab, sosok berjulukan “penyambung lidah rakyat” ini berpandangan bahwa revolusi Indonesia saat itu belum selesai. Imbasnya, kebijakan Bung Karno cenderung mengabaikan pembangunan. Sebaliknya, Bung Hatta melihat bahwa revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan RI.
Menurut I Wangsa Widjaya dalam buku Mengenang Bung Hatta, sang wakil presiden pertama RI meletakkan jabatan bukan hanya dikarenakan tindakan-tindakan Bung Karno yang sering menyimpang.
Alasan lainnya adalah keadaan pemerintahan dewasa itu pada masa demokrasi liberal-parlementer. Parpol-parpol kerap saling bertengkar secara tidak sehat karena banyak politikus condong bersikap sebagai petugas partai, alih-alih negarawan. Sementara, parpol yang berkuasa lebih mementingkan aspirasi politiknya sendiri ketimbang kepentingan bangsa dan negara.
Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden RI pada 1 Desember 1956. I Wangsa Widjaya mengatakan, perhatian dan sumbangsih Hatta tidak lantas berhenti sesudah tokoh ini kembali menjadi warga biasa. Suami Ny Rachmi ini terus menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi persatuan bangsa.
Misalnya, ketika pecah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958, Bung Hatta telah sekuat tenaga mengusahakan perdamaian antara daerah-daerah dan pusat. Indonesia, katanya, tidak boleh pecah. Namun sayang, Sukarno yang saat itu terlanjut mengecap PRRI sebagai “pemberontakan” mengirimkan pasukan tempur ke daerah-daerah kantong PRRI, termasuk Sumatra Barat.
Padahal, PRRI sejatinya adalah gerakan anti-pemerintah pusat belaka, tak bermaksud memisahkan diri dari RI. Yang dituntut ialah bahwa Sukarno kembali taat pada konstitusi dengan membentuk suatu zaken kabinet nasional, bukan malah menunjuk diri Bung Karno sendiri sebagai formatur kabinet.