
Energy Shift Institute (ESI) menilai perusahaan pertambangan batu bara di Indonesia perlu segera melakukan diversifikasi usaha dan memulai transisi energi selagi masih memiliki kekuatan finansial.
Mengacu pada laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) Coal in Indonesia Paradox of Strength and Uncertainty, sektor pertambangan dan jasa batu bara nasional menghasilkan laba bersih hingga USD 31,4 miliar selama 2019-2023, hanya kalah dari sektor perbankan.
Sektor batu bara juga seolah tidak terdampak tren penurunan permintaan global, dengan produksi terus naik dan mencapai rekor 836 juta ton pada 2024 atau naik 7,9 persen dari tahun sebelumnya.
Meski demikian, ESI mengingatkan kondisi tersebut tidak akan berlangsung dalam jangka panjang. Sebab, perubahan dunia menuju energi hijau berisiko menciptakan situasi yang lebih kompleks bagi industri batu bara ke depannya.
“Kemampuan industri batu bara menghasilkan keuntungan besar dalam beberapa tahun terakhir hanyalah lonjakan sementara, sebuah karakter industri komoditas yang kerap berfluktuasi, dan bukan keunggulan struktural," kata principal dan pemimpin kajian transisi batu bara Indonesia ESI, Hazel Ilango, dalam keterangannya, Rabu (18/6).
Saat ini, menurut Hazel, sektor batu bara menjadi pondasi bagi perekonomian Indonesia, yang berkontribusi signifikan pada penerimaan negara, pendapatan devisa, keuntungan korporasi, dan lapangan kerja.
Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) di tingkat nasional sekitar 3,6 persen dalam beberapa tahun terakhir. Di daerah-daerah penghasil batu bara, kontribusi sektor ini mencapai 40 persen di Kalimantan Timur, 25 persen di Sumatra Selatan, dan 15 persen di Kalimantan Selatan. Namun, kontribusi tersebut berpotensi terus berkurang dalam jangka panjang.
Dari hasil analisis SWOT terhadap 12 perusahaan batu bara Indonesia, ESI menemukan ada beberapa faktor pendukung bagi produsen batu bara untuk melakukan diversifikasi dan mengamankan bisnis untuk jangka panjang.
Perusahaan tersebut yakni PT Bumi Resources Tbk, Adaro Andalan Indonesia, PT Bayan Resources Tbk, PT Golden Energy Mines Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Indika Energy Tbk, Baramulti Suksessarana, PT Indo Tambangraya Megah Tbk, PT ABM Investama Tbk, Prima Andalan Mandiri, Geo Energy Resources Ltd, PT Harum Energy Tbk.
Sebagian besar tambang batu bara merupakan aset mature yang mampu mempertahankan produksi dengan kebutuhan investasi yang relatif rendah, neraca keuangan yang sehat yang dapat menjadi penyangga likuiditas.

Sementara itu, profil risiko keuangan 11 perusahaan berada pada tingkat rendah hingga menengah, dengan rata-rata perbandingan utang dan ekuitas 21 persen, jauh lebih rendah dari perusahaan sejenis di dunia pada kisaran 101 persen.
“Gabungan faktor kepercayaan pasar pada sektor batu bara, kestabilan permintaan dan pasokan dalam jangka menengah, serta profitabilitas yang cukup terjaga, menempatkan Indonesia, eksportir batu bara termal terbesar di dunia, pada posisi yang ideal untuk menggunakan arus kas saat ini guna merancang transisi yang lebih teratur," kata Managing Director ESI, Putra Adhiguna.
Meski demikian, kata dia, industri batu bara menghadapi sejumlah risiko, seperti ketergantungan ekspor ke China dan India yang mencapai 63 persen pada 2023, bisnis yang sangat mengandalkan batu bara sebagai komoditas utama dan hanya bertopang pada segelintir tambang utama dalam produksinya. Konsentrasi keuntungan pun sangat tinggi dengan keuntungan USD 31,4 miliar hanya dinikmati oleh 28 perusahaan.
Di sisi lain, regulasi pemerintah seperti kewajiban pasar domestik (DMO), retensi devisa (DHE), dan penyesuaian royalti yang lebih tinggi dibanding komoditas utama lainnya terus berjalan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan pemasukan negara dalam jangka pendek dapat membuat perusahaan semakin enggan melakukan transisi.
“Menemukan insentif bagi sektor ini untuk beralih ke bisnis yang lebih berkelanjutan sangat penting agar perusahaan-perusahaan ini tetap dapat berkontribusi bagi masa depan ekonomi Indonesia dan daerah-daerah penghasil batu bara,” kata Putra.