REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Suara kaum marjinal yang selama ini terpinggirkan dan tak terdengar dalam sistem hukum yang timpang menjadi sorotan utama dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LBH-AP PP Muhammadiyah) yang dihelat selama tiga hari, 8–10 Agustus 2025 di SM Tower Malioboro, Yogyakarta.
Mengusung tema 'Bersinergi Membangun Hukum yang Berkemajuan dan Berkeadilan: Kontribusi Muhammadiyah dalam Menegakkan Hak-hak Rakyat', Ketua LBH-AP PP Muhammadiyah, Taufiq Nugroho, menyampaikan forum ini menjadi momentum penting untuk menyatukan langkah advokat Muhammadiyah dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang menimpa masyarakat, baik secara internal dalam tubuh persyarikatan maupun eksternal di tengah kehidupan sosial-politik Indonesia.
Ia tak menampik bahwa selama ini masih banyak masyarakat terutama dari kelompok miskin dan terpinggirkan tidak memiliki akses, keberanian, atau pengetahuan untuk membela haknya, bahkan sering kali justru menjadi korban kriminalisasi oleh aparat atau kekuatan modal.
"Banyak kasus, masyarakat itu ingin membela tetapi tidak punya akses, tidak punya keberanian, tidak punya sumber daya yang cukup. Bagaimana caranya, apalagi dengan kondisi saya orang miskin, tidak punya kemampuan, tidak mengerti caranya, salah-salah malah dikriminalisasi dan lain hal," ujar Taufiq Nugroho saat dijumpai Republika, Sabtu (9/8/2025).
Taufiq mencontohkan ketimpangan dan praktik ketidakadilan yang menyasar masyarakat kecil ditemukan di berbagai wilayah Indonesia seperti di Wadas, PIK 2, hingga kawasan Kalimantan Timur.
Berkaca dari hal tersebut, Rakornas ini didorong mampu menghadirkan keadilan bagi kelompok rentan dan termarjinalkan. Ia menekankan peran LBH Muhammadiyah harus mampu menjadi pembela bagi mereka yang tak punya suara di hadapan hukum. Hukum tidak boleh hanya mengabdi pada kekuasaan, tetapi harus menjadi alat untuk menegakkan keadilan terhadap kebenaran.
"Kami berharap agar LBH Muhammadiyah hadir di seluruh lapisan masyarakat, sehingga keadilan bisa dirasakan oleh semuanya. Di Rakornas ini, hampir semua isu menarik terkait penegakan hukum akan dibahas," kata Taufiq.
Komitmen Hadir di Setiap Kota dan Kabupaten
Tantangan internal juga tak luput dibahas. Dari data evaluasi LBH-AP, diketahui bahwa belum sampai 50 persen pimpinan daerah Muhammadiyah memiliki lembaga bantuan hukum. Kekurangan SDM, kata Taufiq, menjadi persoalan utama.
Oleh karenanya, Rakornas kali ini juga akan merumuskan strategi kaderisasi advokat Muhammadiyah melalui deklarasi yang akan dilakukan besok, termasuk rencana menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Muhammadiyah yang berbasis nilai-nilai sosial dan keadilan.
"Target kami, LBH Muhammadiyah ini akan hadir di seluruh kabupaten atau kota di seluruh Indonesia," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia Rakornas, Inu Wondo Saputra, menjelaskan dalam forum ini juga digelar Focus Group Discussion (FGD) yang membagi peserta berdasarkan wilayah asalnya untuk menggali isu-isu lokal. Ia juga berharap Rakornas ini menjadi langkah awal untuk memperluas keberadaan LBH Muhammadiyah ke seluruh pelosok negeri. "Di hari kedua ini, kita adakan semacam FGD. Kita bagi 7 kelompok per pulau, dari teman-teman nanti akan menggali isu di daerahnya. Insyaallah di hari ini kita akan tahu isu-isu apa saja yang terjadi di Indonesia," ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh atas terselenggaranya Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik PP Muhammadiyah.
Haedar memandang tema Rakornas tahun ini sangat relevan dan penting di tengah tantangan hukum dan ketidakadilan sosial yang masih terjadi di berbagai lapisan masyarakat. "Membangun hukum yang berkemajuan itu untuk menuju lebih adil dan bisa dirasakan manfaatnya untuk semua. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan," ucap Haedar.
Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Haedar juga mengingatkan pembangunan sistem hukum dan tatanan negara bukan hanya soal infrastruktur hukum, tetapi juga harus menyentuh dimensi keadilan sosial yang merata. Ia menilai hukum seharusnya tidak hanya dilihat sebagai perangkat normatif, tapi juga sebagai jalan menuju keadilan hakiki yang berpihak pada rakyat.
"Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita tidak lepas dari hukum, politik, sosial budaya, dan keagamaan. Mewujudkan kehidupan sebagaimana kita harapkan dan idealkan butuh proses yang panjang. Kita simpulkan bahwa membangun hukum yang berkemajuan itu mewujudkan sistem yang lebih baik dan adil, dirasakan seluruh rakyat Indonesia," ujarnya