
Anggota Komisi II, Ahmad Doli Kurnia, menilai keputusan MK soal pemisahan Pemilu daerah dengan Pemilu nasional menjadi momentum untuk pemerintah hingga DPR RI membahas revisi Undang-Undang Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik.
Adapun MK memutuskan Pemilu daerah dipisah dari Pilpres, Pileg DPR, dan Pileg DPD, serta digelar dua tahun usai Pemilu Nasional itu.
“Soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu pertama saya ingin menyoroti seperti ini, bahwa putusan MK untuk yang kesekian kalinya, yang berkaitan dengan soal sistem pemilu kita ini harusnya semakin menambah alasan, alasan yang tambah kuat untuk pemerintah dan DPR segera melakukan atau memulai pembahasan tentang revisi Undang-Undang Politik, Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik,” ujar Doli dalam diskusi yang digelar Politics and Colleagues Breakfast, di Jakarta Selatan pada Sabtu (28/6).
“Karena semakin lama nanti makin banyak anggota masyarakat kemudian yang mendesak mendorong agar segera dibahas, enggak direspons, datangnya ke Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.
Doli pun menyorot banyaknya putusan MK yang final and binding, yang tidak diduga-duga oleh pemerintah maupun DPR RI.
“Jadi, kekhawatiran saya selama ini saya mengatakan bahwa MK seakan sebagai pembentuk Undang-Undang ketiga, ya semakin kuat. Padahal UUD 1945 kita mengatakan pembentuk Undang-Undang cuma dua, Pemerintah dan DPR. Nah, jadi ini yang saya kira menjadi catatan,” ucap dia.

Lebih lanjut, Doli mengaku setuju dengan keputusan MK ini. Menurutnya, banyak manfaat dari putusan itu, salah satunya adalah soal akan berkurangnya kejenuhan masyarakat.
“Saya termasuk orang yang setuju karena saya dari awal ya meminta kepada kita semua untuk mengkaji ulang soal keserentakan, jadi yang saya setujui itu judul besarnya adalah pengaturan keserentakan pemilu,” tambah dia.
Selain itu, menurutnya pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah ini baik untuk fokus masyarakat. Dengan adanya jeda dua tahun, kata dia, masyarakat akan lebih bisa memisahkan fokus mereka ke Pemilu nasional dan daerah.
“Jadi kampanye yang dilakukan kepala daerah yang berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dalam 5 tahun ke depan, menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat. Bahayanya dampaknya adalah itu adalah bagian yang memperkuat praktik pragmatisme pemilu,” tandas dia.