Sebagai seorang veteran perang yang sudah menginjak usia di atas 100 tahun, kondisi fisik kakek Amad mengundang decak kagum orang yang melihatnya. Langkah kakinya masih tegak tanpa bantuan tongkat, daya ingatnya juga masih tajam jika bercerita tentang perang di masa lalu, meski pendengarannya sedikit bermasalah. Di balik kondisi fisik yang masih kuat di usia yang cukup senja, veteran yang menjadi saksi sejarah perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) Surabaya, tersimpan kisah cinta yang cukup getir.
"Tahun 1954 saya harus meninggalkan istri karena bertugas di luar pulau. Itu sekaligus menjadi pertemuan terakhir dengan istri," kisahnya dengan mata berkaca-kaca, kepada Basra.
Kakek Amad lantas mengenang kisah cintanya dengan sang istri yang bernama Supiah. Supiah merupakan orang Lumajang yang bekerja kepada orang Tionghoa di Kabupaten Pasuruan. Kakek Amad mengaku sudah jatuh cinta pada Supiah sejak pandangan pertama.
Tanpa menunggu lama, ia pun meminta izin kepada majikan Supiah untuk menikahinya. Gayung bersambut, sang majikan mengizinkannya menikahi Supiah.
Usai menikah Kakek Amad dan sang istri lantas menetap di Lumajang. Sayang, kebersamaan Kakek Amad dengan istri tercinta di Lumajang tidak berlangsung lama, hanya sekitar tiga bulan.
Pria kelahiran Surabaya itu harus berangkat tugas ke Sulawesi Utara dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Manado. Peristiwa itu kini dikenal sebagai pertempuran Merah Putih pada 14 Februari 1946.
"Baru saja nikah, saya berangkat tugas ke Sulawesi berjuang, Supiah saya tinggal di rumah," ujarnya.
Perpisahan yang mulanya direncanakan untuk sementara, berubah menjadi pertemuan terakhir pasangan muda itu untuk selama-lamanya.
Kakek Amad tidak kunjung kembali dari masa tugasnya sampai akhirnya Supiah meninggal dunia pada tahun 1954.
Pada tahun 1955 usai bertugas di Sulawesi, kakek Amad kembali ke Lumajang untuk menemui istrinya. Namun kala itu yang diingat kakek Amad hanya nama istri dan mertuanya. Sedangkan lokasi pasti rumah sang istri, ia mengaku lupa.
"Saya sempat mati suri karena pertempuran. Yang saya ingat saat itu hanya nama istri dan nama ayah mertua," tuturnya.
Berbekal petunjuk yang minim itu, kakek Amad mencari keberadaan sang istri. Namun hasilnya nihil. Sekian tahun mencari, kakek Amad mulai pasrah. Ia menyerah mencari keberadaan sang istri yang tak kunjung ditemukan.
Di tengah kepasrahannya, kabar baik itu datang. Di awal 2025, jejak keberadaan Supiah berhasil ditemukan. Namun bukan wujud fisik sang istri yang dijumpainya melainkan pusara di pemakaman di salah satu sudut Kabupaten Lumajang.
"Awal tahun 2025 ketemu. Awalnya (ketemu) sama adik-adik istri dan diberitahu kalau (Supiah) sudah meninggal. Kemudian ditunjukkan makamnya," kenang kakek Amad.
Mencoba tegar saat mengunjungi makam sang istri untuk pertama kalinya, namun tubuh renta kakek Amad bergetar. Air matanya tumpah di atas pusara sang istri yang dirindukannya.
"Tapi saya lega akhirnya bisa tahu kabar istri. Sudah jadi takdir saya dan Supiah," lirihnya.