Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menyadari adanya fenomena tersebut. Dharma menilai, ketakutan tersebut berawal dari pemahaman yang keliru terkait penggunaan suatu karya cipta.
"Saya harus sampaikan bahwa ada pemahaman yang keliru terhadap penggunaan karya cipta lagu maupun musik yang digunakan di kafe atau hotel dan restoran," ungkap Dharma kepada kumparan, Jumat (1/8).
Dharma menekankan bahwa Undang-undang telah menyatakan bahwa sebuah karya cita lagu ataupun musik yang digunakan di ruang-ruang publik dan memberikan dampak ekonomi bagi penyelenggara atau pemilik tempat tersebut, wajib mendapatkan izin dari pemilik hak cipta lagu maupun musik atau hak terkait.
Besaran tarif yang dibebankan kepada pengguna lagu juga sudah diatur dan dikomunikasikan dengan semua asosiasi yang berkaitan.
"Ada 14 subsektor di dalamnya termasuk PHRI (Perhimpunan Hotel Restoran Republik Indonesia). Bahkan disepakati sampai ke hotel-hotel," kata Dharma.
"Konsep yang ditawarkan dari PHRI itulah yang diakomodir menjadi ketentuan menteri khusus perhotelan Nah, untuk restoran pun dibicarakan bersama-sama," tambahnya.
Dharma juga mengungkapkan tarif yang dibebankan terhadap pemilik usaha ialah Rp 120 ribu untuk satu bangku selama satu tahun. Nominal ini terbilang yang paling rendah dibanding negara lainnya.
"Tidak mungkin 365 hari itu terisi penuh sehingga dihitung rate okupansinya itu kurang lebih 60%, bisa sekitar, ya, enggak sampai 300 hari. Itu pun untuk restoran-restoran besar," ungkapnya.
Untuk UMKM, lanjut Dharma, LMKN juga sudah memiliki perhitungan sendiri. Sehingga para pemilik usaha tak perlu khawatir. Dharma menegaskan bahwa royalti di Indonesia tidak akan membuat para pelaku usaha bangkrut.
"Jadi enggak perlu takut. Pakai lagu saja, yang penting itu bayar royalti dan bayar royalti itu tidak bikin bangkrut sebuah usaha," tandasnya.