
DI tengah simpang siur pemungutan dan pendistribusian royalti yang memunculkan polemik antara pemilik hak cipta seperti musisi, pencipta lagu, hingga pelaku usaha, saat ini telah beroperasi platform yang bisa menjembatani kebutuhan pemilik lagu dan pemilik usaha bernama Velodiva.
Velodiva merupakan platform pemutar musik digital komersial yang dibangun oleh PT. Velodiva Music Technologies, yang merupakan anak perusahaan teknologi lokal VNT Networks. Pada awal tahun, dilaporkan platform ini juga telah menjadi mitra Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Berbeda dengan platform streaming yang penggunaannya untuk individu, Velodiva memang menyasar segmen business to business (b2b), yang tujuannya bisa diadopsi oleh para pelaku usaha seperti restoran hingga hotel untuk keperluan penggunaan musik di tempat usaha mereka.
Ketika sistem pemungutan royalti dan pencatatan hingga pendistribusiannya belum rapi, platform musik Velodiva, hadir ditujukan agar penggunaan musik dalam sebuah tempat komersial bisa tercatat, termasuk besaran royalti yang diterima oleh pemilik hak ciptanya.
Kehadiran platform ini juga diapresiasi oleh Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi B Sukamdani. Menurut Haryadi, platform ini sudah punya sistem yang jelas dalam menjembatani kebutuhan antar pihak, baik pemilik usaha, LMKN, dan pemilik hak cipta.
“Bedanya platform streaming musik yang beroperasi di Indonesia dengan Velodiva, misalnya seperti Spotify itu sudah declare kalau di Indonesia hanya untuk individual. Sementata Velodiva sudah b2b. Kalau individual relatif tidak sustain kayak b2b. Kalau individual suatu saat tidak langganan lagi, kalau untuk keperluan bisnis, kan bisa dipakai terus-menerus,” kata Ketua Umum PHRI Haryadi saat ditemui Media Indonesia di kantor PHRI di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu, (13/8).
Namun, Haryadi menyayangkan platform yang sudah digandeng LMKN tersebut, belum dimaksimalkan penggunaannya oleh lembaga tersebut.
“Saya sendiri pernah ketemu dan mendapat penjelasan dengan pemilik Velodiva, itu platform menurut saya bagus banget, bisa transparan dan adil, lagu milik siapa, siapa yang memutar, di mana diputar dan berapa royaltinya semua jelas. Jadi kami tak ada kekhawatiran lagi menggunakan lagu,” lanjut Haryadi.
Pelaku Usaha Butuh Aturan yang Jelas
Sebelumnya, ada isu yang berhembus para pemilik restoran dan hotel enggan membayar royalti. Haryadi pun menegaskan para pelaku usaha bukannya menolak. Namun, butuh aturan yang jelas. Terlebih, terkait tarif royalti.
“Banyak yang beranggapan pengusaha hotel dan restoran tidak mau bayar royalti, ini tidak benar. Prinsipnya PHRI pasti mau bayar, asal ada kejelasan soal tarif. Seharusnya pemerintah hadir dalam penetapan tarif, kemudian tarif tersebut diterapkan melalui platform digital agar lebih transparan. Tidak seperti sekarang sistem gelondongan atau blanket, kata Haryadi. (M-3)