Penurunan produktivitas kakao nasional selama lebih dari satu dekade terakhir menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pemangku kepentingan.
Data Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan menunjukkan produktivitas kakao Indonesia menurun rata-rata 1,20 persen per tahun dalam periode 2012–2022. Pada 2012, produktivitas masih berada di angka 850 kg per hektare, namun terus menyusut hingga hanya 715 kg per hektare pada 2022.
Ketua Dewan Umum Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Ismet Khaeruddin, menilai penyebab utama penurunan ini adalah kerusakan kebun yang semakin meluas. Ia menjelaskan tren penurunan produksi kakao sudah terjadi sejak lebih dari lima tahun terakhir.
"Iya benar jadi memang sebenarnya sudah lima tahun lebih ini memang ada tren penurunan dari produksi kakao kita karena memang ada kerusakan kebun, kerusakan kebun," kata Ismet dalam acara Lokakarya Kakao Nasional, di Gedung BRIN Kota Bogor, Rabu (6/8) dikutip Kamis (7/8).
Hasil studi yang dilakukan CSP bersama sejumlah universitas di Sulawesi Tengah menemukan hingga 69 persen kebun kakao di empat kecamatan dalam sampel penelitian mengalami kerusakan, dari kategori sedang hingga berat. Kebun dengan kerusakan sedang pun, kata Ismet, berarti 50 persen tanamannya sudah tidak bisa diproduksi lagi.
"Makanya sekarang ini kalau kita lihat data statistik ya Itu misalnya kalau saya ambil contoh di Sulawesi Tengah saja Itu di tahun 2018 misalnya itu kebun kami di sana ada 290-an ribu Sekarang hektare Sekarang ini tinggal sekitar 260-an ribu jadi ada penurunan luasan itu," paparnya.
Data dari tersebut turut memperkuat gambaran. Di mana, luas areal kakao nasional turun rata-rata 1,77 persen per tahun dalam periode 2012–2022, dari 1,77 juta hektare pada 2012 menjadi hanya 1,42 juta hektare di 2022.
Sementara produksi stagnan, bahkan cenderung menurun rata-rata 0,16 persen per tahun.
Deputi Bidang Koordinasi Usaha Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Widiastuti, mengungkap pemerintah tengah mendorong langkah-langkah strategis untuk mempercepat peningkatan daya saing komoditas perkebunan, termasuk kakao.
"Saat ini pemerintah berfokus pada langkah-langkah strategis untuk percepatan peningkatan daya saing produk perkebunan seperti, sawit, tebu, kakao, kelapa, karet, kopi, gambir, dan produk hortikultura seperti tanaman buah dan obat," ujar Widiastuti di kesempatan yang sama.
Menurutnya, penurunan produktivitas kakao disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari tanaman yang sudah tua, rendahnya pengetahuan petani, hingga minimnya penggunaan varietas unggul. Hal ini menyebabkan kebun rentan terhadap serangan hama, penyakit, dan dampak perubahan iklim.
Dia menyebut keberhasilan dalam meningkatkan produktivitas kakao tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan membutuhkan kolaborasi lintas sektor.