
MENURUT hukum internasional, sebuah negara berdaulat harus memenuhi empat kriteria utama: memiliki penduduk tetap, wilayah yang jelas, pemerintahan efektif, serta kapasitas menjalin hubungan internasional.
Ketentuan ini diatur dalam Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara. Meski demikian, dokumen tersebut bersifat deklaratif dan tidak dapat ditegakkan seperti perjanjian yang memiliki kewajiban hukum khusus.
Pengakuan dari negara lain secara formal bukan syarat mutlak berdirinya negara. Namun, tanpa pengakuan yang luas, hubungan internasional akan sulit dijalin. Konvensi Montevideo menyatakan pengakuan berarti menerima kepribadian negara lain dengan segala hak dan kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional.
Dalam konteks Palestina, pengakuan berarti mengakui kedaulatan di wilayah Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Namun, sekitar 4,5 juta warga Palestina hidup di bawah pendudukan militer Israel, sehingga tidak memiliki kedaulatan penuh. Banyak pihak menilai pengakuan ini bersifat simbolis.
Profesor Yossi Mekelberg dari Chatham House menyatakan bahwa tidak diragukan lagi mayoritas global mendukung status negara Palestina. Namun, bahkan jika tiga negara G7 memberikan pengakuan mereka, hal itu tidak akan cukup untuk menjadikannya kenyataan universal. "Anda membutuhkan Dewan Keamanan PBB dan itu tidak akan terjadi karena orang tertentu di Gedung Putih," katanya seperti dikutip ABC NET Selasa (12/8).
AS Terus Tolak Palestina, Adakah Solusinya?
AS secara konsisten menolak upaya Palestina mendapatkan status negara di PBB, dengan alasan masalah ini harus diselesaikan melalui negosiasi dengan Israel. Tahun lalu, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang didukung 12 negara, sementara Inggris dan Swiss abstain.
Meski dianggap simbolis, sejumlah pihak menilai pengakuan ini membawa bobot diplomatik. "Kita berbicara tentang negara-negara besar dan sekutu utama Israel," sebut Alon Pinkas, mantan konsul jenderal Israel di New York.
Profesor Julie Norman dari University College London menambahkan, langkah ini memiliki bobot diplomatik dan moral yang besar. Di Inggris, pengakuan kenegaraan memungkinkan pembukaan kedutaan besar penuh, bukan sekadar misi diplomatik. Jaringan Advokasi Palestina Australia (APAN) juga menyatakan hal ini akan membangun hubungan diplomatik formal dengan Palestina.
Namun, kritikus seperti Khaled Elgindy dari Georgetown University menyebut, tampak aneh bahwa respons terhadap kekejaman setiap hari di Gaza adalah mengakui negara Palestina teoritis yang mungkin tidak akan pernah terwujud.
Fathi Nimer dari Al-Shabaka menilai negara-negara Barat seharusnya mempertimbangkan langkah seperti embargo senjata atau sanksi perdagangan terhadap Israel.
Solusi dua negara atau Palestina berdampingan dengan Israel di wilayah yang direbut pada perang 1967 tetap menjadi pandangan umum komunitas internasional.
Pada konferensi PBB Juli lalu, 125 negara mendukung Palestina merdeka dan didemiliterisasi, namun Israel dan AS memboikot pertemuan tersebut.
Rencana yang dibahas dalam Deklarasi New York menetapkan Otoritas Palestina (PA) akan mengendalikan seluruh wilayah Palestina setelah gencatan senjata di jalur Gaza dan Hamas harus menyerahkan kendali serta persenjataannya. Namun, PA menghadapi krisis legitimasi, dengan survei PCPSR pada 2023 menunjukkan mayoritas warga Palestina mendukung pembubarannya.
Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menegaskan pentingnya reformasi demokrasi, karena masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam membangun negara Palestina. "Implementasi praktis dari pengakuan kami akan dikaitkan dengan kemajuan dalam komitmen-komitmen ini," sebutnya.
Apa yang Dilakukan Israel?
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menolak solusi dua negara. Dia menyebut rencana menguasai Kota Gaza sebagai cara terbaik untuk mengakhiri perang. "Kami tidak akan melakukan bunuh diri nasional hanya demi mendapatkan opini yang bagus selama 2 menit," ujarnya.
Parlemen Israel atau Knesset telah mengesahkan resolusi menolak negara Palestina, menyebutnya bahaya eksistensial dan hadiah bagi militan.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga menyebut pengakuan ini tidak relevan dan mengkritik para pemimpin negara G7 yang mendukungnya. "Hal itu membuat Israel sedikit lebih sulit untuk menganggap kubu pro-pengakuan sebagai tidak relevan," pungkas Richard Gowan dari International Crisis Group yang memiliki berpendapat berbeda. (M-1)