
Industri tekstil nasional tengah mengalami tekanan berat disebabkan massifnya impor produk jadi dari Tiongkok sehingga mengganggu daya saing industri. Hal itu ditambah perbedaan pendapat di dalam tubuh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang dinilai kontraproduktif.
Perbedaan pendapat itu terjadi antara Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani dengan Ketua Bidang Perdagangan Apindo Anne Patricia Sutanto mengenai penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Shinta mengingatkan adanya ancaman dumping dari Tiongkok, pada saat yang sama Anne justru dengan tegas menolak penerapan BMAD untuk benang filamen tertentu.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil menilai, penolakan terhadap BMAD untuk benang filamen tertentu tersebut merupakan sikap kontra produktif organisasi dan ambiguitas APINDO di tengah kondisi industri TPT yang sedang dalam tekanan.
"Kita perlu formulasi yang pas untuk hadapi dinamika geopolitik dan geo-ekonomi. Banyak negara yang mulai melindungi pasar dalam negerinya. Salah satunya AS yang menerapkan sejumlah tarif terhadap beberapa negara. Indonesia harus jaga industri dalam negerinya supaya tidak kebobolan oleh produk Tiongkok yang murah," kata Farhan dikutip dari siaran pers, Selasa (12/8).
Farhan mengatakan, Apindo harus serius dalam narasi penguatan industri dan iklim usaha Indonesia yang berdaya saing. Dia juga meminta Ketua Bidang Perdagangan Apindo untuk dievaluasi dan bertanggung jawab atas pendapatnya yang berbeda dengan Ketua Umum Apindo.
"Industri TPT ini kan sektor manufaktur padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja. Saat ini, polimerisasi industri benang filamen setop semua, makanya industri minta perlindungan kepada pemerintah untuk melakukan proteksi pasar domestik. Negara harus hadir untuk menyelamatkan rakyat dan kepentingan umum. Kami minta Apindo juga harus bertanggungjawab dalam bersikap, jangan ambigu," kata dia.
Selain itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil Agus Riyanto berharap Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah tegas untuk mengakhiri kesalahpahaman yang ditimbulkan oleh keputusan Kemendag yang menolak pemberlakuan perlindungan pasar dalam negeri. Jika dibiarkan berlarut, industri tekstil dari sektor hulu hingga intermediate terancam terus berguguran akibat derasnya serbuan impor.
"Jika tidak ada jaminan keadilan dalam berusaha, industri dalam negeri akan mati pelan-pelan. Kami berharap Presiden Prabowo hadir, karena ini bukan lagi soal kebijakan teknis, tapi soal kelangsungan usaha nasional, tenaga kerja, kepentingan rakyatnya, kepentingan umum, negara harus hadir," terang Agus.
Senada dengan Agus, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman mengatakan, industri tekstil harus dilindungi saat ini. Industri hulu dan hilir harus tetap bersama-sama memperjuangkan pasar dalam negeri yang sudah terbangun sejak lama.
"Industri tekstil baik hulu maupun hilir harus dijaga pasar dalam negerinya. Kami dari IKM juga terbantu dengan bahan baku lokal tersedia di pasar. Jika ada pabrik yang setop, pasti ada gejolak dan bisa terjadi kelangkaan bahan baku," kata Nandi.
Dia juga mengatakan, IKM garmen tidak perlu izin impor karena bahan bakunya tersedia di dalam negeri. "Kami tidak perlu impor. Kalau perlu bahan baku, kami pasti carinya ke pasar dan pabrik yang ada di sini. Jadi kalau pabrik polyester stop semua, kami juga susah cari bahan baku. Makanya, hulu hingga hilir harus dijaga," pungkas Nandi. (E-3)