
DI tengah banjir informasi online dan praktik tradisional yang kerap keliru, Posyandu bersama tenaga kesehatan di garis depan memegang peran krusial dalam memberikan edukasi Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang benar. Sayangnya, peran ini belum dimaksimalkan, sehingga praktik MPASI yang tidak tepat masih banyak terjadi.
Menurut Dr. Winra Pratita, SpA(K), Konsultan Gizi dan Penyakit Metabolik, Posyandu adalah titik awal terbaik untuk mengedukasi masyarakat, namun kerap terkendala berbagai faktor.
“Petugas gizi dan bidan seharusnya memberi pemahaman tentang MPASI saat anak datang ke Posyandu. Tetapi karena kondisi yang padat, penyampaian informasi sering tidak optimal,” ujarnya dalam pertemuan virtual (12/8).
Ia menyoroti pula salah kaprah dalam program Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Banyak distribusi PMT di daerah—seperti bubur kacang hijau atau kue naga sari—tidak memenuhi kebutuhan protein hewani, padahal nutrisi ini sangat penting untuk mencegah stunting.
“Pilihlah makanan lokal kaya protein hewani, bukan sekadar camilan,” tegasnya.
Tantangan lain adalah mengubah kebiasaan tradisional yang bertentangan dengan pengetahuan medis. Misalnya, pemberian MPASI terlalu dini sebelum 6 bulan karena dianggap bayi sudah “lapar”. Padahal, MPASI prematur tanpa anjuran dokter bisa memicu diare, alergi, hingga dehidrasi berat yang berisiko fatal.
Sebaliknya, MPASI harus diberikan tepat saat bayi berusia 6 bulan, selama perkembangan anak normal. Dr. Winra menekankan perlunya penguatan peran Posyandu, dengan tenaga memadai dan kurikulum edukasi gizi yang jelas, agar masyarakat mendapat informasi akurat.
Harapannya, Posyandu dapat menjadi garda terdepan dalam memastikan anak Indonesia mendapatkan nutrisi optimal sejak dini, demi pertumbuhan dan perkembangan terbaik mereka. (Z-10)