
Di tengah deru kendaraan dan lalu lalang pejalan kaki di Jalan Melawai, Jakarta Selatan, aroma makanan tercium. Aromanya membuat perut ini 'keroncongan', dan seakan memanggil untuk datang mendekatinya.
Di tepi jalan itu, tampak satu kendaraan yang 'disulap' bak warteg atau rumah makan. Aneka lauk-pauk berjejer di atas mobil bagian belakang.
Di sana seorang wanita berusia 44 tahun, yang biasa disapa Bude Bawel (44) sibuk melayani para pembeli. Tangan bergerak cepat menyajikan beberapa hidangan ke pembeli.
Bude Bawel mengaku berjualan sejak tahun 2015. Namun sempat terhenti akibat pandemi COVID-19.
“Sejak tahun 2015, cuma waktu pandemi kita sempat tutup 3 tahun. Aktif lagi bener-bener aktif itu tahun 2021 itu pandemi udah PPKM yang kedua ya. Udah ini, kita jualan lagi,” kata Bude Bawel saat ditemui ditemui kumparan, Selasa (10/6) siang.
Dimulai dari Gerobak

Sebelum berjualan dengan mobilnya, Bude Bawel mengaku sempat menggunakan gerobak untuk berjalan. Namun, ia tidak mendapatkan izin untuk berjualan di Jalan Melawai.
“Dulu gerobak, cuma kan nggak boleh. Sempet nggak boleh kan. Nah, akhirnya daripada mobil nganggur, ya udah pakai mobil. Praktis, lebih simple, tinggal tutup udah geser parkiran,” tuturnya.
Ide cemerlang itu kemudian membuat dagangan Bude Bawel berhasil dikenal banyak masyarakat. Sering kali, banyak public figure yang datang untuk mencicipi hasil masakannya.
Sepiring Nasi dan Perhatian Bude Bawel

Hari-hari Bude Bawel diisi dengan menyajikan makan siang bagi pekerja sekitar dan pengunjung sekitar. Dari dalam mobil, ia menyuguhkan kehangatan yang tak bisa dibeli di restoran biasa. Harga makanan yang dijual mulai dari Rp 10 ribuan.
Dengan kemurahan hatinya, ia sering kali menyesuaikan budget para pelanggan. Tak heran, saat jam makan siang, sangat ramai pelanggan yang mengantre untuk menyantap makanan Bude Bawel.
“Di sini tergantung menunya. Kalau ayam, sayur itu Rp 20 ribu. Sama daging, Rp 20 ribu. Kita mah tergantung orang, 'Bude, saya ada duit dong paket Rp 15 ribu' ada. Kadang kalau cuma sayur sama tempe orek, 11 ribu, ya kalau mereka lagi ada duit kalau memang lagi nggak ada duit, bilang cuma ada Rp 10 ribu kita terima,” ucap Bude Bawel.
“Kita nggak ngejar-ngejar banget orang tuh harus begini, nggak. Kita ngerti kita orang jalanan juga kalau memang lagi nggak ada duit mau bilang apa. Gitu sih,” lanjutnya.
Bude Bawel mengaku omzetnya menjual makanan itu berkisar hingga Rp 10 juta rupiah per bulan.
Kantongi Izin Berjualan

Meski berjualan di jalanan, Bude Bawel bukan pedagang sembarangan. Ia mengantongi izin resmi dari kelurahan dan kecamatan, dan paham betul kapan harus tutup jika dibutuhkan. Setiap hari libur dan tanggal merah, ia menutup dagangannya dan beristirahat.
“Alhamdulillah, kita kan udah koordinasi sama kecamatan, sama kelurahan. Jadi kalau ada misal suruh tutup dulu, kita tutup gitu. Ada surat izinnya juga, resmi,” jelas Bude Bawel.
“Sabtu minggu tutup. Kalau ketemu tanggal merah juga tutup,” tambahnya.
Bude Bawel mengaku pernah membuka cabang, namun ternyata tak sesuai dengan harapannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali fokus di satu lokasi saja.
“Dulu ada, cuma nggak jalan. Jadi tetap di sini aja kadang nerima pesenan juga. Tadi juga ada nerima catering buat orang kantor, media online,” kata Bude Bawel.
Begitulah rutinitas Bude Bawel, memasak terlebih dahulu setiap pagi di rumahnya, ia lalu menjejerkan masakannya di dalam mobil. Walau begitu, Bude mengaku mobilnya tak pernah meninggalkan bau tak sedap.
“Nggak (bau) sih. Serius. Alhamdulillah nggak. Padahal nggak pake, kadang kan orang ada yang pake Stella, ini nggak,” ujar Bude.