Merdeka dan Keadilan Fiskal

1 hour ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Oleh : Jaharuddin , Ekonom Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agustus adalah cermin, kita merayakan kemerdekaan sembari menatap jujur keseharian. Di jalanan, di pasar, di layar gawai saat membayar tagihan, perasaan yang mengemuka sering kali sama, beban semakin berat, pajak terasa makin dekat, namun manfaatnya belum selalu kasatmata. Pertanyaan publik pun mengeras, sampai kapan negara memajaki rakyatnya sendiri? Adakah jalan lain agar beban lebih ringan tanpa menanggalkan kewajiban bersama?

Sebagai ekonom Islam, saya memandang APBN bukan sekadar neraca uang, melainkan amanah—amwāl al‑ummah (harta milik umat/kekayaan publik)—yang harus dikelola dengan prinsip ‘adl (keadilan), amanah (integritas), dan maṣlaḥah (kemanfaatan). Maqāṣid al‑syarī‘ah mengamanahkan perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Artinya, setiap rupiah yang dipungut dan dibelanjakan negara mesti terukur kontribusinya terhadap pendidikan (ḥifẓ al‑‘aql), kesehatan (ḥifẓ al‑nafs), perlindungan sosial dan ketahanan pangan (ḥifẓ al‑nafs/ḥifẓ al‑nasl), serta penguatan ekonomi (ḥifẓ al‑māl).

Untuk kerangka faktanya, mari jernihkan dulu soal PDB 2025. PDB harga berlaku pada triwulan I‑2025 tercatat Rp5.665,9 triliun (realisasi tiga bulan pertama). Berdasarkan proyeksi pemerintah dalam APBN 2025, nilai PDB setahun penuh diperkirakan sekitar Rp24.314 triliun. Angka triwulan BPS belum mencakup empat kuartal penuh, sementara angka APBN adalah asumsi tahunan yang dipakai untuk menghitung rasio fiskal (misalnya rasio pajak terhadap PDB).

Dengan basis itulah, postur APBN 2025 menetapkan pendapatan negara Rp3.005,1 triliun (12,36 persen PDB), terutama dari penerimaan perpajakan Rp2.490,9 triliun (10,24 persen PDB). Di sisi belanja, totalnya Rp3.621,3 triliun—Belanja Pemerintah Pusat Rp2.701,4 triliun dan Transfer ke Daerah Rp919,9 triliun. Defisit 2,53 persen PDB dibiayai antara lain melalui pembiayaan anggaran Rp616,2 triliun dan pembiayaan utang Rp775,9 triliun. Data ini penting bukan untuk menumpuk angka, melainkan untuk menimbang keadilan, seberapa proporsional beban yang dipikul, dan seberapa nyata manfaat yang kembali ke rakyat.

Pendidikan—pilar utama ḥifẓ al‑‘aql—mendapat alokasi besar, total Rp724,3 triliun. Rinciannya, belanja pemerintah pusat Rp297,2 triliun, antara lain untuk BOS bagi 43,4 juta siswa, BOP PAUD 6,1 juta peserta didik, tunjangan profesi guru, dan DAK Fisik pendidikan (revitalisasi 14.690 sarana serta 21 perpustakaan daerah). Melalui Transfer ke Daerah dialokasikan Rp347,1 triliun, dan melalui pembiayaan Rp80,0 triliun (antara lain beasiswa LPDP 49.971 orang serta pendanaan riset). Ini bukan sekadar “anggaran besar”, melainkan investasi yang harus berujung pada mutu layanan belajar yang terasa di kelas-kelas riil.

Di sektor lain yang menyentuh ḥifẓ al‑nafs, kesehatan 2025 dianggarkan Rp218,5 triliun untuk memperkuat layanan primer–rujukan, JKN, penugasan nakes, percepatan penurunan stunting, serta penguatan kemandirian industri farmasi. Jaring pengaman sosial—kunci menahan guncangan bagi rumah tangga rentan—dialokasikan Rp503,2 triliun, dengan program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, BLT Desa, hingga subsidi bunga KUR. Pada ketahanan pangan, alokasi Rp144,6 triliun diarahkan ke bendungan dan irigasi, alsintan (Alat dan Mesin Pertanian), benih, penguatan cadangan pangan, hingga dukungan sarpras perikanan—strategis untuk stabilitas harga dan ketersediaan pasokan. Semua ini adalah belanja yang “mendasar”, namun keberhasilan akhirnya ditentukan oleh seberapa tepat sasaran dan seberapa besar perubahan hasil (outcome) yang diraih.

Masih ada dua pekerjaan rumah besar. Pertama, rasio pajak 10,24 persen PDB relatif moderat untuk mendanai agenda transformasi; ruang ekstensifikasi tetap ada, tetapi harus ditempuh secara adil dan efisien. Kedua, trust deficit, korupsi/inefisiensi sekecil apa pun menggerus legitimasi pajak. Dalam etika Islam, ghulūl (penggelapan) adalah dosa publik karena merusak amanah kolektif. Karena itu, keberhasilan fiskal tak cukup “collecting more”, tetapi harus “spending better”, hemat, bernilai tambah, dan dapat diaudit publik—portal keterbukaan kontrak, harga satuan, kinerja vendor, progres proyek, serta pelacakan aliran dana ke program prioritas.

Di tengah polemik “pajak membebani”, kita perlu meluruskan relasi APBN dan PDB agar berbasis fakta. Secara makro, PDB = C + I + G + (X − M). Belanja pemerintah (G) adalah salah satu mesin pendorong—membuka akses, menutup kesenjangan, menciptakan prasyarat tumbuhnya produktivitas—tetapi porsi terbesar PDB dihasilkan oleh sektor swasta dan rumah tangga melalui konsumsi, investasi, produksi, dan ekspor. Dengan kata lain, APBN yang kuat itu perlu—sebagai pengarah dan pemicu—namun “mesin utama” produksi nasional tetap para pelaku usaha, pekerja, petani, nelayan, dan UMKM. Penegasan ini penting agar kebijakan fiskal tidak menekan yang lemah, melainkan menumbuhkan yang produktif.

Lalu apa jalan tengah berbasis ekonomi Islam untuk mengurangi beban sekaligus memperkuat manfaat? Pertama, optimalkan penerimaan halal nonpajak seperti PNBP lewat tata kelola SDA/BMN (Barang Milik Negara) yang transparan dan berkelanjutan. Kedua, dorong pembiayaan syariah—SBSN/green sukuk dan cash waqf linked sukuk—untuk proyek dengan arus kas jelas (transportasi publik, irigasi, sekolah vokasi, RS daerah), sehingga setiap utang melahirkan aset dan manfaat sosial.

Ketiga, integrasikan ZISWAF sebagai automatic stabilizer sosial untuk sektor kemanusiaan (beasiswa, klinik primer, pangan komunitas), bukan menggantikan pajak, tetapi melengkapinya. Keempat, land value capture pada kawasan yang terdongkrak nilainya oleh proyek publik, agar beban tidak murni ditanggung APBN. Kelima, lakukan spending review tahunan yang berujung keputusan, hentikan program tumpang tindih/bermanfaat rendah; alihkan ke layanan dasar bernilai tambah tinggi; dan ukur dengan indikator outcome (stunting turun, mutu pembelajaran naik, kemacetan berkurang), bukan sekadar serapan.

Setiap perluasan basis pajak—terutama di konsumsi—harus disertai kompensasi kasatmata untuk kelompok rentan, bansos adaptif, tarif listrik berkeadilan, pembiayaan ultra‑mikro syariah, serta beban administrasi rendah bagi UMKM. Komunikasi fiskal juga perlu berubah dari “mengumumkan” menjadi “mengajak”; dari sosialisasi satu arah menjadi co‑creation dengan komunitas, ormas keagamaan, dan pelaku usaha kecil.

Merdeka yang kita rayakan tidak selesai pada upacara. Ia hidup ketika APBN menjadi alat pemerdekaan yang membumi, pajak yang adil, belanja yang efektif, dan tata kelola yang jujur. Dengan kerangka ekonomi Islam—menolak kezhaliman, menegakkan keadilan, memaksimalkan kemaslahatan—kita bisa keluar dari polarisasi “naikkan pajak vs kurangi layanan”. Jalan tengahnya, memperluas sumber pendanaan yang halal dan berkelanjutan, mengefisienkan belanja, menutup kebocoran, serta mengembalikan manfaat ke rakyat secara nyata. Saat itu terwujud, pertanyaan “sampai kapan?” berubah menjadi ikrar bersama, sampai pajak kembali terasa sebagai gotong royong yang bermartabat, dan kemerdekaan hadir di meja makan setiap keluarga.

Read Entire Article