
Kejaksaan Agung membuka peluang untuk menggelar sidang in absentia terhadap tersangka kasus pengadaan satelit Navayo yang hingga kini tidak memenuhi panggilan penyidik karena berada di luar negeri.
Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) Mayjen TNI M. Ali Ridho mengatakan perkara Navayo kini sudah masuk tahap penyidikan. Sejumlah saksi dan tersangka telah dipanggil oleh tim penyidik.
“Perkara Navayo sekarang sudah masuk tahap penyidikan. Kemarin para saksi dan tersangkanya juga sudah dipanggil,” ujar Ali kepada wartawan di Kantor Kejagung, Jaksel, Jumat (20/6).
Ia mengungkapkan bahwa tersangka yang berada di luar negeri juga telah dipanggil melalui jalur resmi kerja sama antar-lembaga. Namun tak kunjung dipenuhi.
Salah satu tersangka yang ada di luar negeri diduga adalah CEO Navayo International Gabor Kuti. Dia diduga adalah warga negara Hungaria.
“Ya di luar negeri juga sudah kita panggil, dan kita panggil. Yang kita panggil tentunya kan dengan mekanisme. Mekanisme kita berkomunikasi dengan bidang biro hukum di sini, kemudian komunikasi dengan Kementerian Luar Negeri. Karena kan harus disampaikan dari pihak Kementerian Luar Negeri, untuk memanggil warga negara asing yang dijadikan tersangka,” jelasnya.
Meski proses pemeriksaan tetap dilakukan di Indonesia, opsi sidang in absentia terbuka jika tersangka tetap mangkir dari panggilan.
“Kalau misalnya dipanggil pada masanya enggak pernah datang, ya kita kan bisa sidang dengan cara in absentia. Yang penting kan kita sudah patut memanggil tersangka yang di luar negeri,” ucap Ali.
Ia menekankan bahwa penyidik telah tiga kali melayangkan panggilan resmi. Bahkan akan melayangkan panggilan keempat.
“Ada tetap [panggilan keempat], tetap kita panggil lagi yang keempat itu. Artinya kalau keempat juga tidak datang lagi kan sama saja, satu, dua, tiga, empat juga tidak didatangi. Akan berapa lama lagi kita akan memanggil gitu loh,” katanya.
Kasus ini berawal dari kontrak kerja sama antara Kementerian Pertahanan dan pihak Navayo untuk pembangunan satelit. Namun, proyek tersebut belakangan diduga fiktif.
“Ini kan awalnya perkara Navayo ini karena ada satu kontrak dalam rangka untuk membangun satelit. Nah, satelit ini dalam proses ke sininya, ternyata proyeknya itu kan tidak ada. Seperti proyek fiktif gitu,” katanya.
Ali menjelaskan bahwa kontrak yang diteken dinyatakan sah dalam arbitrase internasional di Singapura. Namun proyeknya tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
“Pihak Navayo sudah memberikan kontrak, sudah memberikan kelanjutan daripada proyek itu. Tetapi faktanya tidak demikian. Akhirnya karena nggak terbayarkan oleh Kementerian Pertahanan, dia melakukan gugatan arbitrase ICC ke Singapura. Di ICC Singapura itulah kemudian dinyatakan bahwa Kementerian Pertahanan disuruh membayar karena atas dasar kontrak tadi yang pada dasarnya kontraknya adalah fiktif,” papar Ali.
Barang bukti yang ditemukan pun dinilai tidak relevan untuk membangun satelit sebagaimana perjanjian awal.
“Makanya barang buktinya hanya handphone banyak. Ada ratusan handphone, banyak ratusan handphone kurang lebih. Nah, ratusan handphone itu tidak bisa untuk membangun satelit,” ungkapnya.
Penyidik telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan Laksamana Muda (Purn) TNI Leonardi, Anthony Thomas Van Der Heyden selaku perantara, dan CEO Navayo International Gabor Kuti, sosok yang berada di luar negeri.
“Tidak ada [tersangka baru], tetap tiga itu. Satu yang dari luar negeri, yang dua adalah dari Indonesia,” tutup Ali.
Belum ada keterangan dari ketiga tersangka mengenai kasus yang menjerat mereka itu.