REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto, menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemblokiran rekening oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dinilai merugikan masyarakat. Ia meminta PPATK untuk kembali ke jalur yang benar yakni sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Pemblokiran secara massal terhadap rekening yang tidak aktif tanpa indikasi tindak pidana, jelas bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Eko menjelaskan bahwa PPATK memiliki wewenang terbatas sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, khususnya Pasal 28 Ayat (3), yang menyebut pemblokiran hanya dapat dilakukan terhadap individu atau organisasi yang telah tercantum dalam daftar teroris resmi yang ditetapkan oleh pengadilan.
"PPATK kembali kepada peraturan perundang-undangan. Ketika melakukan pemblokiran itu harus dengan argumentasi alasan hukum. Misalnya tadi terlibat tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi atau hasil-hasil dari kejahatan misalnya. Itu silahkan ditutup boleh, nggak apa-apa. Tetapi jangan uangnya masyarakat (yang tidak terlibat) kemudian diblokir," kata Eko, Senin (4/8/2025).
Sejak kebijakan itu diterapkan, Ia tak menepis bahwa Komisi A telah menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat DIY, khususnya di Kota Yogyakarta, terkait pemblokiran rekening yang tidak aktif selama tiga bulan tersebut. Menurut Eko, kebijakan itu menimbulkan keresahan dan menyusahkan masyarakat.
Apalagi tidak semua warga memiliki pola keuangan yang rutin, seperti halnya pegawai tetap. Banyak masyarakat yang menabung secara musiman, sesuai dengan pendapatan dari hasil bertani, beternak, atau bekerja di sektor informal.
Di sisi lain, alasan PPATK yang mengaitkan kebijakan ini dengan upaya pemberantasan judi online dinilainya tidak masuk akal dan cenderung gegabah. PPATK telah bertindak di luar kewenangan dan perlu segera mengkaji ulang serta menghentikan kebijakan ini.
"Kalau memang PPATK punya bukti-bukti didukung dengan dari informasi dari OJK maupun dari Bank Indonesia atau dari aparat penegak hukum, ya silahkan aja. Tapi kan kita enggak bisa kemudian digeneralisasi gitu ya, bahwa seolah-olah semuanya terlibat judol kan tidak juga, sehingga saya kira terlalu berlebihan apa yang dilakukan oleh PPATK ini," ucap Eko.
Eko juga menyoroti meskipun rekening tidak digunakan untuk transaksi besar, tetap ada aktivitas seperti bunga bank dan potongan administrasi, yang seharusnya menunjukkan bahwa rekening tersebut masih aktif secara sistem.
"Rekening itu selalu punya aktivitas karena ada bunga, ada potongan administrasi bank. Ini yang harum disamakan persepsinya. Jangan sampai masyarakat dirugikan atas kebijakan yang tak sesuai regulasi dan tak mengerti hati rakyat," ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga menekankan lembaga seperti PPATK seharusnya menjalankan fungsinya dalam koridor konstitusi, yakni memberikan perlindungan kepada rakyat, bukan malah membuat kebijakan yang bertentangan dengan semangat keadilan sosial dan perlindungan warga. Komisi A pun mendesak agar PPATK segera meninjau ulang dan mencabut kebijakan pemblokiran tersebut, serta kembali pada aturan dan kewenangan yang sah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
"Sudah saatnya PPATK menghentikan kebijakan ini. Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Kami sedang memverifikasi laporan dan akan meneruskan ke pemerintah pusat. Karena PPATK ini wewenangnya di pusat, maka suara masyarakat dari daerah harus sampai," ungkapnya.