Senin pagi cerah menyambut kehidupan sekolah dengan penuh semangat di SMP Strada Suka Maju. Di kantin sekolah, tujuh sekawan sedang asyik berbincang sambil menyeruput minuman hangat.
Mereka adalah Roni, sang ketua kelas bijak dan selalu berpikir panjang; Joni, si humoris yang tak pernah gagal membuat teman-teman tertawa; Ali yang dikenal pendiam namun cermat; Rina, si kritis yang sering mempertanyakan keadaan sekitar; Ratmi, gadis ceria penuh semangat; Iskandar, jago olahraga yang juga sangat aktif; dan Midah yang ramah serta mudah bergaul.
Dari balik jendela kantin, mata mereka memandang ke arah Danau Suka Maju yang letaknya tak jauh dari sekolah. Danau yang dahulu jernih dan menyenangkan kini tampak memprihatinkan, berwarna coklat keruh dan dipenuhi sampah plastik di sepanjang tepinya.
“Jelek banget ya sekarang danau itu,” keluh Rina sambil menunjuk tumpukan sampah yang tampak mengambang di permukaan air. Ia menghela napas mengingat masa kecil mereka yang sering bermain dan belajar di sekitar danau itu. “Padahal dulu kita sering main di sana, airnya bersih,” lanjutnya dengan nada penuh nostalgia.
Joni, seperti biasa, menimpali dengan gaya khas, “Iya, butek banget sekarang. Kayak air cucian.” Kalimat itu sontak membuat yang lain tertawa kecil, meski dalam hati mereka mengakui bahwa ucapan Joni ada benarnya.
Namun tidak semua tertawa. Roni hanya menatap danau itu dengan tatapan prihatin. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Kita enggak bisa diam aja. Ini rumah dan lingkungan kita. Danau itu butuh bantuan,” katanya tegas, mengajak teman-temannya untuk mulai berpikir lebih serius. Kalimat Roni menggantung di udara, membuat keheningan, seakan-akan memaksa mereka memikirkan tanggung jawab yang mungkin selama ini diabaikan.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepala Midah. Dengan mata berbinar, ia berkata, “Bagaimana kalau kita buat gerakan peduli lingkungan? Kita bersihkan danau itu!” Usul yang spontan itu langsung disambut dengan semangat oleh yang lain, seolah-olah mereka sudah lama menunggu momen untuk melakukan sesuatu yang berarti.
Akan tetapi, Ratmi dengan jujur mengutarakan keraguannya. “Tapi, kita cuma anak SMP. Mana bisa bersihkan danau sebesar itu?” katanya lirih, menyuarakan kegelisahan yang mungkin juga dirasakan oleh yang lain.
Tak disangka, Iskandar langsung menyahut dengan semangat khasnya, “Kita bisa mulai dari hal kecil. Mungkin kita bisa buat sesuatu yang bisa menjernihkan airnya.” Ucapan itu menyulut semangat baru di antara mereka.
Mereka saling pandang, mencoba menangkap kemungkinan yang tersembunyi dalam saran Iskandar. Dalam suasana hening yang penuh harapan itu, Roni tiba-tiba teringat sebuah artikel yang pernah ia baca tentang sesuatu bernama ekoenzim. “Ekoenzim itu cairan hasil fermentasi sisa-sisa buah dan sayuran. Katanya bisa menjernihkan air kotor,” jelasnya.
Mata mereka langsung berbinar. Bahkan Ali, yang biasanya hanya mendengarkan, kali ini ikut bersuara dengan antusias, “Wah, keren!” Semangat mulai membara dalam diri ketujuh sahabat itu. Tanpa menunda waktu, mereka pun memutuskan untuk menemui Bu Ratna, guru biologi yang sangat dikenal sebagai sosok peduli terhadap lingkungan.
Ketika mereka menyampaikan ide tersebut, Bu Ratna tersenyum lebar dan mendukung penuh inisiatif itu. Ia menjelaskan bahwa membuat ekoenzim memang membutuhkan ketelatenan, tetapi hasilnya sangat bermanfaat.
“Kalian butuh air, gula merah, dan sisa buah atau sayuran dengan perbandingan 10:1:3,” terang Bu Ratna. “Proses fermentasinya butuh waktu tiga bulan, jadi kita harus sabar.”
Sejak hari itu, sepulang sekolah, ketujuh sahabat tersebut mulai menjalankan aksi kecil mereka dengan tekun. Mereka mengumpulkan sisa buah dan sayuran dari kantin sekolah, warung sayur di sekitar lingkungan, bahkan membawa dari rumah masing-masing.
Dengan arahan Bu Ratna, mereka mencampur semua bahan ke dalam botol plastik bekas besar dan menata rapi di ruang kosong dekat laboratorium. Selama tiga bulan, mereka secara rutin memeriksa fermentasi, mengaduk cairan, mencatat perubahan warna dan bau, bahkan terkadang saling bersaing siapa yang paling rajin mengaduk.
Tiga bulan akhirnya berlalu. Botol-botol besar yang semula berisi campuran bahan organik kini berubah menjadi cairan coklat keemasan dengan aroma asam khas, namun menyegarkan. Hari itu menjadi momen yang dinanti-nanti.
Dengan penuh semangat, Roni, Joni, Ali, Rina, Ratmi, Iskandar, dan Midah berjalan ke tepi Danau Suka Maju, masing-masing membawa botol ekoenzim besar buatan mereka. Bu Ratna turut mendampingi mereka, tersenyum bangga melihat dedikasi para muridnya. Dengan hati-hati, mereka menuangkan cairan itu sedikit demi sedikit ke permukaan air danau.
Pada awalnya, mereka tidak melihat perubahan apapun. Air tetap keruh, sampah masih mengambang, dan bau tak sedap masih tercium. Namun seminggu kemudian, sesuatu yang meng...