Tentara Israel di dekat kendaraan pengangkut personel lapis baja mereka kembali dari Jalur Gaza menuju Israel, Selasa, 29 Juli 2025.
REPUBLIKA.CO.ID, JALUR GAZA -- Israel di bawah rezim Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berencana untuk menduduki Jalur Gaza seluruhnya. Namun rencana itu mendapat penentangan, bahkan di tubuh militer dan eks perwira Zionis. Israel diyakini tidak akan bisa menang dalam pertempuran tersebut.
"Israel sedang berperang dalam perang yang tidak mungkin dimenangkannya," kata mantan direktur Shin Bet (dinas keamanan internal Israel), Ami Ayalon, dalam sebuah artikel pedas yang mengecam perang genosida Tel Aviv di Gaza.
Ayalon, yang juga pernah memimpin angkatan laut Israel, menggambarkan serangan itu sebagai tidak adil, tidak bermoral, dan kontraproduktif. Ia menyerukan kepada komunitas internasional untuk menegakkan kembali tujuan politik bersama melalui "Inisiatif Perdamaian Arab" yang telah lama diabaikan.
Diterbitkan di "Foreign Affairs" seperti dilansir dari laman Middle East Monitor, esai Ayalon merupakan salah satu kritik paling keras dari dalam lembaga keamanan Israel.
Lebih dari 22 bulan setelah serangan militer yang menyusul serangan yang dipimpin Hamas pada Oktober 2023, Ayalon memperingatkan bahwa Israel telah kehilangan koherensi strategis.
Meskipun militer mengeklaim telah membongkar infrastruktur inti Hamas, otoritas Israel telah gagal mengartikulasikan rencana politik untuk Gaza atau pendudukan Palestina yang lebih luas sehingga membuat wilayah tersebut dicengkeram oleh bencana kemanusiaan dan ketidakstabilan.
"Semakin lama Israel tak punya rencana, maka semakin banyak aktor internasional yang harus bersatu untuk mencegah bencana yang lebih buruk daripada yang sedang terjadi," Ayalon memperingatkan.
Ayalon menyerukan dorongan baru untuk Prakarsa Perdamaian Arab (API), sebuah proposal tahun 2002 yang didukung oleh seluruh 22 negara Liga Arab. API menawarkan normalisasi penuh hubungan dengan Israel dengan imbalan penarikan penuh dari wilayah Palestina yang diduduki dan pembentukan negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967.
Namun, Israel secara berturut-turut, terutama di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, tidak hanya mengabaikan API tetapi juga secara aktif menyabotase prospek kenegaraan Palestina.