Ungkapan “Madura Menguasai Dunia” belakangan ramai di media sosial. Menanggapi hal tersebut, Dr La Ode Rabani SS MHum, dosen ilmu sejarah di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) turut memberikan pendapatnya. Ia menyebut bahwa kalimat itu bukan sekadar lelucon, namun menyimpan sejarah panjang dan nilai kultur yang dalam.
“Dilacak dari akar historis, orang-orang Madura dikenal mempunyai etos kerja yang kuat dan bebas, tanpa mau diintervensi oleh penguasa kolonial Belanda sekalipun,” ujar La Ode dalam keterangannya seperti dikutip Basra, Jumat (8/8).
Laode memaparkan, etos kerja yang dimiliki masyarakat Madura juga diakui lintas kelompok, bahkan oleh komunitas Tionghoa.
“Berasal dari negeri yang secara ekologi tidak subur dan tidak berbasis agraris, orang-orang Madura telah menjadi pekerja keras dengan etos kerja luar biasa,” jelasnya.
Madura dikenal pula sebagai etnis maritim. La Ode menyebut, mereka ahli dalam navigasi, pembuatan perahu, dan perdagangan pesisir. Hal itu diperkuat dari letak geografis Madura yang strategis berada di jalur utama perdagangan Nusantara.
“Madura secara geoekonomi sangat dekat dan terintegrasi intensif dengan pusat-pusat ekonomi maju di Jawa seperti Surabaya, Probolinggo, dan Pasuruan. Kondisi itulah menyebabkan orang-orang Madura belajar banyak dari geliat ekonomi yang ada,” paparnya.
Pakar Ilmu sejarah maritim itu juga menyatakan, orang-orang Madura tidak lepas dari tradisi merantau sejak lama, baik sebagai tentara, buruh, hingga pekerja misi (penginjil). Namun meski berada di tanah rantau, ia menyebut masyarakat Madura tetap menjaga identitasnya. Bahasa, prinsip ibadah, dan budaya tetap dipelihara.
“Di rantau, membawa budaya adalah sebuah keharusan, karena itu yang mengikat secara emosional,” tegasnya.
La Ode mengungkap bahwa orang Madura cenderung justru merantau secara berkelompok. “Mungkin, untuk menjaga tradisi tetap berjalan. Bisa juga karena orang-orang Madura tidak selalu diterima baik oleh sebagian masyarakat Indonesia sehingga bila ada hambatan atau hal lain yang membantu, mereka bisa saling menolong,” tuturnya.
Faktanya kini orang-orang Madura, kata La Ode, telah diterima semakin baik secara sosial seperti dalam pernikahan dengan berbagai etnis di perantauan. Demikian pula elite-elite Madura yang mampu mengisi birokrasi di berbagai daerah di Indonesia.
Etos kerja dan budaya rantau juga tercermin dengan adanya fenomena keberadaan warung Madura yang buka 24 jam di Surabaya. Menurut La Ode, hal itu adalah respons atas tingginya kompetisi ekonomi saat ini.
“Orang-orang Madura masuk dan siap dalam ekonomi yang kompetitif. Buka sepanjang hari dan malam adalah bagian dari merespons perubahan," tuturnya.
Sebutan warung 24 jam bahkan lebih di beberapa sudut kota, khususnya di Surabaya, bukan sekadar candaan. “Ini adalah pesan bagi generasi bangsa. Di tengah kompetisi ekonomi yang ketat, malas adalah kehancuran, sedang kerja keras di luar batas normal adalah tuntutan. Kisah orang-orang Madura bekerja 24 jam tidak menyalahi aturan apa pun, termasuk agama. Pembagian kerja dan waktu tidur di antara mereka adalah pemanfaatan waktu yang maksimal untuk meraih kehidupan ideal,” tutup La Ode.