REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Jumlah warga Gaza yang meninggal akibat kelaparan yang dipicu blokade Israel mendekati 200 jiwa. Ini setelah Kementerian Kesehatan di di Jalur Gaza mengumumkan kematian empat warga Palestina dalam 24 jam terakhir akibat kelaparan dan kekurangan gizi di wilayah tersebut.
Sejauh ini jumlah total korban jiwa akibat kelaparan menjadi 197 orang, termasuk 96 anak-anak. Rumah Sakit Nasser di kota Khan Younis di selatan Gaza telah melaporkan kematian dua anak karena kekurangan gizi kemarin, menurut Aljazirah Arab. Yang terkini meninggal adalah seorang gadis berusia dua tahun di daerah al-Mawasi.
Krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Jalur Gaza terus memburuk akibat blokade dan kekurangan makanan dan pasokan medis. Kelaparan parah ini terkait dengan perang genosida yang dilancarkan Israel sejak 7 Oktober 2023.
Sejak 2 Maret 2025, penjajah Israel telah menutup semua penyeberangan dengan Jalur Gaza, menghalangi masuknya sebagian besar makanan dan bantuan medis, sehingga semakin mempercepat penyebaran kelaparan di seluruh wilayah tersebut.
Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) telah memperingatkan bahwa kekurangan gizi pada anak-anak balita meningkat dua kali lipat antara bulan Maret dan Juni sebagai akibat dari blokade yang sedang berlangsung.
Organisasi Kesehatan Dunia mengkonfirmasi bahwa tingkat kekurangan gizi di Gaza telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan hampir satu dari lima anak balita di Kota Gaza menderita kekurangan gizi akut. Aljazirah berbicara dengan Zaid Amali, petugas advokasi senior di Humanity and Inclusion UK, tentang dampak perang terhadap penyandang disabilitas.
Karena terbatasnya pergerakan mereka dan kurangnya alat bantuan, seperti kursi roda, penyandang disabilitas menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan warga Palestina lainnya dalam mengakses makanan dan bantuan, kata Amali dari Ramallah, di Tepi Barat yang diduduki.
“Warga Palestina di Jalur Gaza kelaparan, dan hal ini mempunyai dampak berlipat ganda pada penyandang disabilitas yang tidak dapat menjangkau skema bantuan militer, yang tidak dapat menjangkau bantuan udara yang dijatuhkan di zona pertempuran berbahaya atau di atas reruntuhan,” katanya. "Yang kami butuhkan adalah perang ini berhenti. Kami perlu semua titik perlintasan bantuan dibuka kembali," tambah Amali.
Serangan dan pemboman massal yang terus dilakukan Israel juga meningkatkan jumlah penyandang disabilitas di Jalur Gaza, katanya. “Kami menyaksikan banyaknya kebutuhan yang meningkat, terutama dalam hal orang yang kehilangan anggota tubuh.”