
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di Gaza, mati itu bukan kabar mengejutkan, melainkan rutinitas seperti pagi yang disambut tanpa listrik dan malam yang ditemani suara drone.
Namun ada mati yang berbeda, mati yang menolak dilupakan: seperti Maryam Abu Daqah yang enggan melepas kamera dari genggamannya.
Namun, di jalan Khan Younis, kamera itu jatuh juga ke tanah, dibasahi darah dan debu reruntuhan. Ya, kamera itu memang terjatuh, tapi gambar terakhir sesungguhnya sudah diambil oleh jantungnya —adegan yang tak lagi tersimpan di kartu memori, melainkan di surga.
Baca juga: Kasus Penyakit Cacingan, Kenali Penyebab dan Resikonya
Maryam wafat ketika sedang meliput serangan di sekitar Rumah Sakit Nasser. Ia tak pulang kepada anaknya, Gaits, yang selalu menunggunya dengan mata berbinar di setiap sore di rumah. Ia tak kembali lagi mengirimkan laporan pembantaian gila Israel ke kantor medianya.
Ia tak kembali ke halaman media sosialnya, tempat ia menulis kalimat sederhana sehari sebelum gugur: _“Saat tanah menutupi yang paling kau cintai, di situlah kau tahu betapa remehnya hidup ini.”_ Kata-kata yang terdengar seperti salam perpisahan.
Ia memang tidak pulang ke rumah, tapi ia pulang ke Haribaan Ilahi Rabbi, meninggalkan wasiat —sebuah teks pendek, namun cukup untuk menjadi peta hidup bagi anak satu-satunya. Ia wafat, tapi ia hidup di sisi Tuhannya. Ia mati syahid dengan keperkasaan seorang wanita.
Maryam menulis wasiat itu dengan jernih, seperti seorang ibu yang sudah tahu kematian berdiri di depan pintu. “Gaits, engkau jantung dan ruh ibumu," wasiatnya yang memberi makna dan arti kehidupan. "Aku ingin kau doakan aku. Jangan menangis agar aku tetap bahagia."
Baca juga: Ada Ribuan Lowongan Kerja di Job Fair Depok 2025
"Angkat kepalamu, jadilah kuat, belajarlah dengan sungguh, kelak kau akan jadi lelaki sejati. Saat kau menikah nanti, berilah nama anakmu ‘Maryam’ —agar aku terus hidup dalam keluargamu. Ingat, nak, shalatmu jangan pernah kau tinggalkan. Itu warisan terbesarku.”
Inilah wasiat yang sederhana sekaligus dahsyat: tentang doa, martabat, masa depan, dan tentang iman. Tidak ada teori _parenting,_ tidak ada motivasi dengan infografis warna-warni, hanya darah yang tumpah bersama kamera yang tergeletak. Dan justru karena itu ia abadi.
Maryam bukan sekadar jurnalis. Ia seorang ibu tunggal yang menghidupi anaknya, sekaligus pernah jadi anak yang rela memotong tubuhnya sendiri demi sang ayah yang gagal ginjal. Ia memang pernah mendonorkan ginjal untuk ayahanda, dan menolak dipublikasikan.
“Pengorbanan terbesar adalah di rumah,” begitu katanya pula memberi arti kecintaan pada keluarga. Maka ketika ia membawa kamera ke medan perang, sebenarnya ia sudah siap karena sudah terlatih: tubuh ini boleh robek, asalkan yang dicintai tetap hidup.
Di Gaza, Palestina, kamera memang punya risiko setara senapan. Israel lebih takut pada gambar daripada pasukan Hamas, karena gambar bisa menembus blokade, melintasi algoritma, dan membongkar aib di meja makan internasional.
Maka wartawan menjadi musuh, dan Maryam tahu persis risikonya memilih jalan hidup dan medan perjuangan pembebasan Palestina ini. Ia tak gentar, dan memilih terus maju, sebab bagi Gaza, kamera adalah senjata terakhir yang paling menembus dan mematikan.
Maryam wafat dengan cara yang bagi kita mungkin mengerikan: darah tercecer di tanah, tas rangsel terbuka, tubuh terbujur di samping kamera. Namun justru di situlah kebahagiaannya: ia mati di puncak cita-citanya sebagai seorang syahidah.
Ia paham betul pasti mati jika ajal tiba. Tapi ia ingin mati sebagai saksi kebenaran, mati sebagai ibu yang telah menyiapkan anaknya dengan pesan yang terang, mati sebagai syahidah yang Al-Qur’an katakan tidak benar-benar mati, melainkan hidup di sisi Tuhan.
Maka eleginya pun terasa aneh: pedih sekaligus melegakan. Di bumi ia rubuh dan ditangisi, tapi di langit ia lahir kembali dan disambut jutaan malaikat. Dunia kehilangan seorang wartawan tangguh, tapi surga menerima seorang syahidah yang lembut.
Surat Maryam memang ditujukan untuk Gaits, tapi sebetulnya ia menitip pesan bagi siapa pun yang hidup hari ini. Wasiat bagi kita semua tentang hidup. Bahwa hidup bukanlah menumpuk benda, melainkan memberi makna.
Bahwa kamera pun bisa setara dengan senjata, jika dipakai untuk melawan ketidakadilan dan kezaliman. Bahwa keluarga adalah alasan paling mulia untuk bertahan, bahkan di tengah reruntuhan.
Baca juga: Catatan Cak AT: Absurd Melawan Absurd
Dan bahwa shalat, pada akhirnya, adalah satu-satunya warisan yang tidak bisa dan tak boleh dihancurkan oleh rudal, embargo, atau pengkhianatan politik dunia.
Maryam memang sudah tidak bisa lagi mengangkat kameranya, tapi gambar terakhir yang ia tinggalkan lebih kuat dari ribuan berita.
Kamera yang tergeletak, darah yang menetes, surat wasiat yang terbuka —itulah potret yang akan terus melekat di ingatan sejarah.
Dan dari sana, ia seakan berbisik: “Jangan katakan aku mati. Aku masih hidup. Hanya alamatku saja yang berpindah.” (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 27/8/2025