
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU tersebut digugat oleh tiga orang yakni Terence Cameron yang menyatakan diri sebagai aktivis hukum; Geszi Muhammad Nesta selaku wiraswasta; dan Adnisa Prettya selaku karyawan swasta.
Para pemohon ini menguji secara materil Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada tersebut. Menurut para penggugat, pasal itu bertentangan dengan pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam permohonannya, para pemohon menyoroti soal ketentuan syarat perolehan suara untuk ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih yang tidak konsisten dan telah beberapa kali berubah dalam beberapa UU yang mengatur pemilihan kepala daerah.
Mereka meminta Pemenang Pilkada hanya jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen. Selama ini, kondisi tersebut hanya diterapkan di Pilkada DKI Jakarta, tidak di daerah lainnya.
"Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota terpilih, dan dalam hal tidak ada pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama," demikian petitum dari para pemohon dikutip dari laman MK.
Perjalanan Perubahan UU Pilkada
Pemohon merincikan perubahan yang terjadi dalam Pasal 107 di UU Pilkada.
Menurut pemohon, ketentuan pada pasal 107 di UU Nomor 32 Tahun 2004, prinsipnya adalah pasangan calon kepala daerah harus memperoleh lebih dari 50 persen suara untuk dapat terpilih. Namun, jika tidak terpenuhi, maka pasangan calon tersebut dapat dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
"Jika tidak terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen maka dilakukan pemilihan putaran kedua," demikian bunyi permohonan.
Namun, pada 2008, UU tersebut diubah, menjadi: pasangan calon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 50% untuk dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, namun jika tidak terpenuhi, jika terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30%, maka pasangan calon tersebut dapat dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Jika tidak terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30% maka dilakukan pemilihan putaran kedua.
Tak berhenti sampai situ, aturan tersebut pun diubah pada 2 Februari 2015 dengan munculnya perppu atas UU tersebut.
Di perppu itu, dituliskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, pasangan calon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 30% untuk dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, dan jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30%, maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Kemudian, pada tanggal 13 Maret 2015, UU tersebut berganti lagi. Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, sudah tidak ada lagi ketentuan besaran syarat perolehan suara minimal untuk ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, dan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak terlepas dari besaran perolehan suaranya otomatis akan ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
"Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang diubah tanpa adanya parameter yang jelas merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang adil, dan juga bentuk kemunduran demokrasi," kata pemohon.
Kemudian, pada 1 Juli 2016, UU tersebut kembali berubah. Perubahan terjadi di dua pasal, yakni Pasal 107 dan Pasal 109. Berikut bunyinya:

Pasal 107:
(1) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota terpilih.
(2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pasangan calon yang memperoleh dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kecamatan di kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota terpilih.
(3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota terpilih.
Sementara pasal 109 berbunyi:
(1) Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
(2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, pasangan calon yang memperoleh dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
(3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
Pemilu Harus Kompetitif
Menurut para pemohon, Pilkada haruslah kompetitif. Jika diikuti banyak pasangan calon, maka tanpa adanya ketentuan harus memperoleh 50% suara mayoritas berpotensi menyebabkan pasangan calon terpilih dengan suara yang rendah.
"Tentu saja tidak memberikan legitimasi yang cukup, dan juga berpotensi menghasilkan pasangan calon terpilih yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih dan juga bukan pasangan calon yang terbaik," kata pemohon.
Kondisi itu, kata pemohon, berpotensi menyebabkan Pilkada tidak terselenggara secara adil dan demokratis sebagaimana Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 serta kehilangan hak warga untuk mendapatkan kepala daerah yang dipilih secara demokratis yang diberikan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945.

Singgung Pilkada Jakarta
Pemohon menyinggung Pilkada di Provinsi DKI Jakarta sebagai Pilkada yang paling adil dan demokratis, sebab syarat menang harus memperoleh suara di atas 50%. Jika tidak ada yang memperoleh 50% suara, maka digelar putaran kedua.
Petitum
Atas dasar permohonan itu, para pemohon mengajukan petitum:
1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan ketentuan di dalam Pasal 107 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang berbunyi: “Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota terpilih.” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota terpilih, dan dalam hal tidak ada pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen), diadakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali kota dan Wakil Wali kota putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.”
3. Menyatakan ketentuan di dalam Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang berbunyi “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak me...