Indonesia tak lagi berada di posisi puncak sebagai negara paling dermawan di dunia. Dalam laporan World Giving Report (WGR) 2025, Indonesia kini menempati peringkat ke-21 dari 101 negara yang disurvei. Meski begitu, kontribusi masyarakat Indonesia tetap mengungguli rata-rata global dan sejumlah negara tetangga.
Pada 2024, Indonesia menduduki peringkat pertama versi World Giving Index (WGI) yang dirilis oleh Charities Aid Foundation (CAF). Namun, laporan terbaru WGR yang hadir dengan pendekatan baru yang lebih komprehensif membuat Indonesia turun dari posisi pertama.
Dalam laporan tersebut kedermawanan tidak hanya diukur dari seberapa sering seseorang memberi, tetapi juga dari nilai donasi terhadap pendapatan serta keragaman cara memberi.
Peneliti filantropi dari PIRAC (Pusat Penelitian dan Advokasi Kepentingan Publik), Hamid Abidin, menyebut perubahan posisi Indonesia sebagai hal yang wajar mengingat perbedaan metodologi dalam laporan terbaru ini.
"Metodologi WGR jauh lebih inklusif. Tidak sekadar menghitung frekuensi memberi, tapi juga mempertimbangkan nilai donasi relatif terhadap pendapatan dan keragaman jalur pemberian," jelas Hamid seperti dikutip dari Antara.
Indonesia Tetap Di Atas Rata-rata Global
Meski turun peringkat, Indonesia tetap menunjukkan kekuatan besar dalam hal kemurahan hati. Rata-rata masyarakat Indonesia menyumbangkan 1,55% dari pendapatan mereka, jauh di atas rata-rata global sebesar 1,04%. Angka ini juga mengungguli negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Kebiasaan berdonasi di Indonesia pun sangat beragam. Mulai dari menyumbang langsung kepada individu, mendukung lembaga amal, hingga organisasi keagamaan. Program-program seperti pengentasan kemiskinan, bantuan anak dan remaja, serta bantuan kemanusiaan menjadi tujuan utama donasi masyarakat Indonesia.
Namun, di balik potensi besar ini, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan struktural. Menurut Hamid, regulasi terkait filantropi masih banyak yang ketinggalan zaman dan kurang mendukung pertumbuhan ekosistem kedermawanan.
"Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) sudah sangat usang. Insentif pajak untuk donatur pun masih minim dan kalah jauh dibanding negara lain," tegas Hamid.
Ia mendorong pemerintah untuk segera merevisi regulasi tersebut dan memperluas insentif pajak agar masyarakat dan pelaku usaha makin terdorong untuk berdonasi.
Selain dukungan regulasi, kepercayaan publik terhadap lembaga filantropi juga menjadi faktor krusial. Tingkat kepercayaan ini memengaruhi tidak hanya jumlah donasi, tetapi juga partisipasi dalam kegiatan sukarela dan advokasi.
"Kepercayaan publik akan mendorong keterlibatan lebih luas dan memastikan keberlanjutan gerakan filantropi di tanah air," tambah Hamid.