Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengeluarkan kebijakan baru terkait warga negara asing yang hendak berkunjung ke negaranya.
Dampaknya--terutama bagi negara yang dianggap memiliki tingkat overstay yang tinggi--akan dibebani biaya visa lebih besar untuk masuk AS.
Lantas bagaimana kondisi overstay di antara negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia? Berikut penjelasannya.
Berdasarkan data Laporan Entry/Exit Overstay Fiscal Year 2023 Report to Congress dari Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS, untuk pemohon visa bisnis dan turis, menyebut Filipina sebagai negara ASEAN yang memiliki tingkat overstay tertinggi.
Laporan itu mengatakan pada periode 1 Oktober 2022 – 30 September 2023 ada 6.564 warga negara Filipina yang mengalami overstay di AS. Tercatat juga pada periode itu sebanyak 210.842 orang warga negara Filipina seharusnya meninggalkan AS.
Sementara untuk catatan negara ASEAN paling rendah overstay di AS adalah Timor-Leste. Bahkan pada periode tersebut Timor Leste membukukan 0 catatan overstay. Untuk yang seharusnya meninggalkan AS pada periode itu tercatat ada 43 orang.
Untuk Indonesia, posisinya ada di nomor kedua untuk tingkat overstay tertinggi di AS, yakni sebanyak 3.172 WNI. Untuk jumlah yang seharusnya meninggalkan AS ada di angka 74.847.
Singapura dan Brunei Darussalam--negara yang terdaftar bisa masuk AS tanpa visa sampai 90 hari--tak serta merta patuh terhadap aturan imigrasi Negeri Paman Sam itu.
Ada sebanyak 305 orang untuk Singapura dan 7 warga negara Brunei Darussalam yang mengalami overstay di AS.
Berikut rincian data laporan tingkat overstay di AS pada 2023 untuk negara-negara anggota ASEAN:
Adapun diberitakan sebelumnya berdasarkan pemberitahuan yang dipublikasikan di Federal Register pada Selasa (5/8), negara yang memiliki tingkat overstay paling tinggi nantinya harus membayar USD 5-15 ribu USD atau setara Rp 81-245 juta untuk mengajukan visa--buat yang memerlukan--untuk memasuki AS.
Kebijakan ini pun akan melalui tahap uji coba selama 12 bulan terlebih dahulu yang akan dimulai pada 15 hari sejak publikasi resminya.
Kendati demikian AS belum menyebutkan data terbaru negara-negara mana saja yang akan terdampak nantinya terhadap kebijakan ini menurut data terbaru mereka.