Dengan santun, Rachmat Gobel meminta izin kepada Rosan P Roeslani, “Saya mau ngasih saran boleh Pak Menteri?” Dengan cepat, Rosan menjawab, “Boleh.” Gobel pun menyampaikan bahwa Indonesia adalah pasar yang besar, bahkan karena saking besarnya semua ingin masuk ke Indonesia. Pasar yang besar memang modal sangat penting untuk menarik investasi. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumberdaya alam dan hasil bumi.
“Namun untuk menarik investasi tersebut, pasarnya harus dijaga. Jangan semua barang masuk. Tapi harus jelas kualitasnya,” kata Gobel. Selain itu, pintu masuknya dari banyak pelabuhan, karena itu pemerintah harus melakukan kontrol yang kuat.
Hal kedua, Gobel menyampaikan perhatian pemerintah seolah hanya untuk investor-investor baru saja. “Kayaknya karpet merahnya sudah lebih seperti [karpet] emas,” lanjutnya. Padahal banyak investor lama yang sudah lama berkontribusi terhadap ekonomi Indonesia, misalnya investor di bidang otomotif dan elektronika. “Menurut saya mereka ini agak kurang diperhatikan."
Gobel mengingatkan bahwa dalam melihat investasi harus memperhatikan tren teknologi. Dalm soal EV ini, ada isu ramah lingkungan, yang dikaitkan dengan emisi CO2. Nah, dalm hal tren teknologi kendaraan yang ramah lingkungan, bukan hanya ada EV, tapi juga ada teknologi kendaraan hybrid dan hidrogen. Hingga kini, belum tahu mana teknologi yang akan lebih unggul dan diterima pasar. Seperti dulu raja handphone, Nokia, tumbang karena pilihan teknologi yang bertahan adalah yang memilih teknologi android seperti Samsung atau teknologi eksklusif seperti Apple.
Karena itu, Gobel berpendapat mestinya pemerintah memberikan perlakuan yang sama terhadap EV, hybrid, dan hidrogen. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa sumber energi EV di Indonesia berbasis batubara, yang memiliki emisi CO2 sangat besar.
“Bisa-bisa pemerintah rugi, bahkan ada merek EV yang perusahaannya sudah bangkrut di negara asalnya tapi produknya bisa masuk ke Indonesia. Tidak ada kontrol,” katanya. Gobel menambahkan bahwa struktur piramida industri otomotif non-EV yang sudah berinvestasi lama di Indonesia sudah sampai ke tier-3, ada tiga lapis industri di Indonesia, yang melibatkan banyak industri penopang yang melibatkan 250 ribu tenaga kerja. Jika Indonesia tidak hati-hati maka akan banyak orang kehilangan pekerjaan. Sedangkan kendaraan EV hasil impor penuh.
Tentang isu emisi CO2 juga tak hanya ada di kendaraan, tapi juga ada di industri elektronika, seperti AC dan kulkas. Tak hanya menyangkut materialnya, tapi juga hemat energi. Semestinya, pemerintah juga memberikan insentif kepada mereka. Namun nyatanya, pemerintah tak menjadikan isu tren teknologi ini sebagai bagian dari strategi industrialisasi dan investasi. Semua jenis teknologi bisa bebas masuk, termasuk teknologi yang sudah ketinggalan zaman, yang tidak ramah lingkungan, tidak efisien, dan tidak berjangka panjang.
Di negara lain, seperti Malaysia, kebijakan tren teknologi ke depan ini sudah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahnya. Mereka tidak mau teknologi kuno mengotori lingkungan Malaysia–dalam konteks EV, bisa dibayangkan limbahnya jika menjadi teknologi yang tak bertahan lama. Karena produk industri pada akhirnya akan menjadi limbah, yang kemudian akan menghadapi isu lingkungan.
Suatu saat, kata Gobel, ada investor akan masuk ke Malaysia dan menjadikan Malaysia sebagai basis produksi pesawat televisi. Namun Malaysia tak buru-buru tergiur dengan iming-iming basis produksi maupun besaran angka investasi. Malaysia bertanya jenis teknologi apa yang akan dibawa. Calon investor tersebut ternyata akan membangun pabrik pesawat televisi jenis tabung, teknologi kuno. Malaysia pun menolaknya. Malaysia paham bahwa tren teknologi televisi adalah LED dan digital. “Kalau kita nggak. Semua serba dikasih, yang tidak jelas teknologinya dan usinya jangka pendek. Semestinya kita butuh investasi dengan tren teknologi terbaru dan berjangka panjang,” katanya.
Dialog Gobel dan Rosan itu terjadi dalam acara Indonesia-Japan Executive Dialogue 2025 yang diselenggarakan Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang (PPIJ) di Hotel Fairmont, Rabu, 6 Agustus 2025, malam. Acara ini diikuti sekitar 200 pimpinan perusahaan Jepang yang ada di Jabodetabek. Pembicara utama adalah Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BPKM dan juga CEO Badan Pelaksana Investasi Danantara, Rosan P Roeslani, dan pengamat ekonomi M Chatib Basri. Hadir pula Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, yang juga memberikan sambutan. Gobel sendiri adalah ketua PPIJ yang juga ketua Liga Parlemen Indonesia-Jepang.
Dalam sambutannya, Gobel juga menyampaikan, data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara tujuan investasi Jepang nomor 2. Sebelumnya Indonesia menempati posisi nomor 5. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia menjadi primadona bagi investor Jepang. Executive Dialogue ini diadakan untuk merespons penurunan investasi Jepang di Indonesia. Pada 2023, realisasi investasi Jepang di Indonesia mencapai 4,6 miliar dolar AS, sedangkan pada 2024 adalah 3,46 miliar dolar AS. Ada penurunan 24,8 persen. Karena itu acara dialog tersebut diharapkan bisa menjembatani k...