
Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, membantah 7 tudingan jaksa terhadapnya dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Hal tersebut disampaikan Tom saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (9/7).
Awalnya, Tom mengungkapkan ada 7 poin tudingan jaksa terhadapnya dalam kasus ini, yakni:
Menerbitkan izin impor tanpa didasarkan pada rapat koordinasi antar-kementerian.
Menerbitkan izin impor gula pada saat produksi gula dalam negeri mencukupi dan di saat sedang musim giling tebu.
Menerbitkan izin impor tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Menerbitkan izin impor untuk Gula Mentah untuk diolah oleh industri gula swasta nasional menjadi Gula Putih, padahal industri gula swasta tersebut tidak punya izin untuk mengolah Gula Mentah menjadi Gula Putih, terutama untuk digunakan untuk meredam gejolak harga gula nasional.
Tidak memberikan penugasan stabilisasi stok dan harga gula kepada BUMN, tapi kepada Non-BUMN, yaitu Koperasi TNI-POLRI seperti INKOPKAR dan INKOPPOL.
Memberikan penugasan stabilisasi stok dan harga gula kepada sebuah BUMN, yaitu PT PPI, tapi yang kemudian berujung pada importasi Gula Mentah, bukan Gula Putih. Dan bahwa Gula Putih hasil olahan Gula Mentah tersebut akhirnya dibeli oleh PT PPI di atas harga yang dipatok peraturan, yaitu Harga Pokok Petani atau HPP.
Tidak melakukan pengendalian atas distribusi gula yang seharusnya dilakukan oleh BUMN, bukan oleh distributor.
Tom mengungkapkan, tudingan soal tak memberikan penugasan untuk stabilisasi harga gula kepada BUMN sangat kontradiktif dengan tuduhan poin lainnya. Di mana, Tom disebut memberikan penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
"Gimana tuh ceritanya di tuduhan nomor 5 saya 'bersalah karena tidak tunjuk BUMN'; di tuduhan nomor 6 saya 'bersalah, karena tunjuk BUMN'. Jadi Penuntut menyampaikan saya bersalah karena 'tidak menunjuk' dan juga karena 'menunjuk' BUMN," ujar Tom.
"Saya jadi teringat sebuah perkataan, yaitu: 'sudah, tapi belum' dan 'iya, tapi nggak'," tambahnya.

Sementara terkait tuduhan tak adanya rapat koordinasi antar-kementerian, Tom Lembong mengatakan, hal tersebut sifatnya tak mengikat. Menurut dia, digelarnya rapat hanya merupakan suatu pedoman.
Kemudian terkait stok gula yang masih mencukupi, Tom Lembong mengatakan hal tersebut juga telah dibantah dalam persidangan.
"Bahwa produksi gula dalam negeri tidak mencukupi hingga akhir tahun 2015 juga jelas terlihat dari keterangan saksi dan ahli dalam persidangan, bahwa stok gula nasional terus menurun sepanjang tahun 2015, dari sekitar 1,2 juta ton di awal tahun 2015, menjadi hanya 840.000 ton dan bahkan 800.000 ton di akhir tahun 2015," jelas Tom.
Selanjutnya, Tom juga membantah tuduhan soal harga beli dan jual PT PPI di atas harga patokan petani (HPP). Dia menjelaskan, HPP adalah harga minimum.
"Harga Patokan Petani itu seperti Sebuah Upah Minimum atau UMR. Sama seperti HPP merupakan sebuah harga minimum untuk melindungi Petani, maka UMR juga sebuah upah minimum untuk melindungi pekerja," ungkap Tom.
"Tuduhan, Dakwaan dan Tuntutan Kejaksaan RI bahwa membayar harga di atas harga minimum petani mengakibatkan kerugian negara itu seperti itu: berarti sebuah BUMN bayar gaji di atas UMR juga menyebabkan kerugian negara karena seharusnya dia tidak bayar di atas UMR, begitu?" sambung dia.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Tom Lembong dihukum 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa meyakini bahwa Tom Lembong terbukti bersalah dan terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 578,1 miliar.
Usai dituntut 7 tahun penjara, Tom Lembong menilai bahwa isi dari surat tuntutan jaksa sama sekali mengabaikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan selama ini.
Tom juga mengaku kecewa lantaran tak adanya pertimbangan jaksa terkait sikap kooperatif yang telah dia tunjukkan selama ini.
"Saya terheran-heran dan kecewa. Karena tuntutan yang dibacakan sepenuhnya mengabaikan 100% dari fakta-fakta persidangan. Jadi, saya agak heran saja apakah ini memang pola kerja daripada Kejaksaan Agung," ujar Tom Lembong saat itu.
"Saya sudah cukup bersabar. Dalam tahanan sudah 8 bulan, kira-kira. Dan itu pun juga sama sekali tidak dicerminkan dalam tuntutan," imbuhnya.
Dengan tuntutan itu, Tom Lembong pun menilai Kejagung tak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum.
"Saya agak kecewa bahwa Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak sanggup untuk profesional seperti yang kami harapkan dan bagaimana sejauh mungkin kami sendiri mempraktikannya," tutur dia.