
Seorang pelajar SMA di Garut, Jawa Barat diduga mengakhiri hidupnyabpada Senin (14/7). Aksi itu ramai dibicarakan terjadi usai ia mengalami perundungan (bullying).
Kasus ini mencuat setelah ibu korban mengklaim di media sosial bahwa anaknya menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah. Hal itu diduga terjadi karena dituding melaporkan teman-temannya yang merokok elektrik di kelas.
Salah satu akun media sosial instagram yang diduga milik ibunya dengan nama fuji_ lestari_thoriq menyuarakan penderitaan anaknya melalui akun Instagram pribadinya. Pada Senin, 14 Juli 2025 tepat di hari sang pelajar ditemukan meninggal, lini masa Instastorynya dipenuhi curahan hatinya.
Ia menceritakan bagaimana putranya, yang kini menjadi korban. Diketahui, awalnya dituding sebagai "mata-mata" yang melaporkan teman-temannya yang ketahuan nge-vape di kelas. Sebuah tuduhan yang, menurut sang ibu, sama sekali tidak benar.
"Awalnya anak saya di tuduh melaporkan teman-temannya yang nge vape di kelas padahal dia sama sekali tidak melakukan itu. Lalu pada suatu hari anak saya mau dipukulin rame-rame sama teman sekelasnya tangannya dipegangin dan udah mau dipukulin tapi alhamdulillah anak saya berhasil kabur ke ruang BK dan ada satu orang temennya yang mau mukulin itu secara gak sengaja kena pukul anak saya saat mau kabur. Tapi pihak sekolah bilang ada temennya yang jadi korban kena pukul anak saya. Tapi ya sudahlah saya tidak memperpanjang masalah karena pihak sekolah berjanji mau di luruskan di kelas," tulis akun tersebut, dikutip Rabu (16/7).
Polisi pun menyelidiki kasus ini. "Kejadiannya sedang kami lakukan penyelidikan," kata Kasat Reskrim Polres Garut, AKP Joko Prihatin, saat dikonfirmasi.
Sementara itu pihak sekolah dan beberapa rekan korban berbeda dengan narasi keluarga. Kepsek Sekolah tersebut rDadang Mulyadi dan Wali Kelas Yulia Wulandari membantah adanya perundungan.

Mereka menyatakan bahwa masalah utama bermula ketika korban tidak naik kelas karena 7 mata pelajaran tidak tuntas.
Rekan-rekan korban juga membantah adanya pengeroyokan atau pengucilan, meskipun mengakui sempat terjadi kesalahpahaman.
"Mereka curiga bahwa korban yang melapor ke guru, karena setelah itu di kelas kita ada razia. Tapi ternyata bukan korban yang melapor," ucap dua rekan korban.
Selain itu, kabar bahwa korban mengaku dikucilkan di sekolah, keduanya membantah hal tersebut. "Kalau kerja kelompok, kita juga selalu masukin korban ke daftar kelompok, tapi memang tidak mengerjakan, kalau teater juga selalu kita kasih peran utama," katanya.
Sementara itu, Yulia Wulandari mengaku kaget saat mendengar kabar korban meninggal dunia dan diduga disebabkan oleh perundungan di sekolah. Sebab, menurutnya, tidak ada perundungan yang dialami korban.
"Kita bahkan selalu mengupayakan bagaimana caranya supaya korban tidak tertinggal dari segi pelajaran," ungkap Yulia.
Yulia menyebut, sebelum ramainya kejadian ini, dia dan orang tua korban rutin berkomunikasi melalui pesan singkat. Kata dia, orang tua korban bahkan sering curhat mengenai anaknya, termasuk bertanya mengenai hubungan asmara korban dengan seorang teman di kelasnya.
"Sering bercerita mengenai kenapa anaknya menjadi berubah semenjak masuk sekolah," ungkap Yulia.
Di sisi akademis, kata Yulia, terjadi penurunan prestasi yang dialami korban sejak semester 2 kelas 10. Ia mengeklaim bahwa ia dan guru BK di sekolah telah melakukan beragam strategi untuk mengatrol prestasi belajar korban, tapi tidak berhasil.
"Dan itu diketahui oleh orang tua siswa. Jawabannya silakan saja, ngikut gimana kata sekolah," ungkap Yulia.
Kata Bupati dan Menteri
Wakil Bupati Garut, Putri Karlina, mengungkapkan bahwa kasus ini sudah didampingi sejak tiga minggu lalu. Putri mengakui adanya perbedaan pandangan antara keluarga dan pihak sekolah, dan berharap kasus ini tidak terulang.
Pemkab Garut juga akan menjadikan insiden ini sebagai bahan evaluasi internal, khususnya terkait kinerja guru di sekolah-sekolah.
Di sisi lain Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan bahwa kematian tidak ada kaitannya dengan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
“Itu bukan karena SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru) ya, dan kasusnya sedang didalami oleh KPAI,” ucapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (16/7).
“Jadi kasus di Garut itu sedang didalami oleh KPAI, tapi penyebabnya bukan karena MPLS. Saya tegaskan, penyebab kematian yang bersangkutan bukan karena MPLS,” tambah Mu’ti.