
Pembahasan soal kehadiran guru selama 8 jam per hari di sekolah kembali mencuat seiring diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru. Banyak pihak yang mengartikan peraturan ini sebagai bentuk kewajiban kehadiran fisik guru selama delapan jam penuh setiap hari di sekolah. Namun, apakah benar demikian? Apakah beban kerja guru harus dimaknai secara kaku sebagai jam kehadiran harian?
Dalam artikel ini, penulis mengajak pembaca menelaah secara jernih isi dari Permendikdasmen tersebut, menimbang urgensi kehadiran guru selama 8 jam, serta mempertimbangkan realitas tugas profesional guru di lapangan.
Mengupas Beban Kerja Guru Berdasarkan Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025
Dalam Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025, pemerintah menetapkan bahwa beban kerja guru adalah 37 jam 30 menit kerja per minggu. Angka ini mengacu pada total jam kerja efektif yang wajib dipenuhi oleh seorang guru profesional dalam satu minggu kerja.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa beban kerja ini bukan hanya aktivitas mengajar, melainkan terdiri dari berbagai komponen sebagai berikut:
Merencanakan pembelajaran dan penilaian
Melaksanakan proses pembelajaran atau pembimbingan
Menilai hasil belajar peserta didik
Membimbing dan melatih peserta didik
Melaksanakan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah
Dengan demikian, beban kerja guru tidak semata diukur dari kehadiran fisik di kelas atau jam tatap muka dengan siswa. Ada bagian besar dari tugas guru yang bersifat administratif, konseptual, dan profesional yang dapat dikerjakan di luar ruang kelas atau bahkan di luar lingkungan sekolah.
Miskonsepsi: Wajib Hadir 8 Jam Sehari
Miskonsepsi yang terjadi di beberapa lingkungan sekolah maupun instansi pendidikan adalah anggapan bahwa guru harus "absen jam 7 dan pulang jam 3" demi memenuhi 8 jam kerja per hari. Padahal, Permendikdasmen No. 11/2025 tidak secara eksplisit menyatakan bahwa guru harus berada di sekolah selama 8 jam setiap hari.
Jika kita membagi 37 jam 30 menit beban kerja mingguan ke dalam 5 hari kerja, maka secara matematis muncul angka ±7 jam 30 menit per hari. Namun, implementasinya tidak harus kaku seperti itu. Misalnya, jika seorang guru menyelesaikan sebagian besar beban kerjanya dalam 3 hari efektif, bukan berarti ia melanggar aturan.
Justru yang ditekankan oleh peraturan ini adalah pemenuhan beban kerja secara profesional, bukan kehadiran fisik yang belum tentu efektif. Kehadiran fisik selama 8 jam tidak menjamin bahwa guru benar-benar menggunakan waktunya untuk menjalankan tugas profesinya secara maksimal.
Guru Bukan Pegawai Kantoran

Guru bukanlah pekerja kantoran yang hanya menjalankan rutinitas administratif dari jam ke jam. Profesi guru adalah profesi berbasis kompetensi, dedikasi, dan pencapaian pembelajaran. Menyamakan guru dengan pegawai administrasi adalah bentuk simplifikasi terhadap kompleksitas kerja guru.
Seorang guru harus merancang rencana pembelajaran yang berkualitas, menilai capaian siswa secara menyeluruh, melakukan pembimbingan, mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi, hingga mempersiapkan perangkat ajar yang terus berkembang. Tidak semua aktivitas tersebut bisa atau harus dilakukan di sekolah.
Bahkan, dalam era digital saat ini, banyak aktivitas guru yang dapat dilakukan secara daring, seperti input nilai, menyusun perangkat ajar, mengikuti pelatihan, bahkan membimbing siswa secara virtual. Jika semua itu sudah tercapai dan terukur, maka memaksakan kehadiran 8 jam per hari justru dapat menjadi kontraproduktif.
Efektivitas vs. Formalitas
Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: Apakah 8 jam di sekolah menjamin guru lebih efektif? Jawabannya bisa tidak. Justru sering kali aturan kehadiran yang terlalu kaku mendorong lahirnya formalitas semata. Guru tetap hadir di sekolah, tetapi bukan untuk menyelesaikan tugas esensialnya. Mereka mungkin menghabiskan waktu dengan hal-hal administratif atau hanya menunggu jam pulang tanpa produktivitas berarti.
Alih-alih fokus pada jam kehadiran, lebih baik pengelola sekolah mengembangkan sistem pengawasan dan evaluasi kinerja yang berbasis output dan kualitas kinerja guru, misalnya melalui portofolio kegiatan, evaluasi hasil belajar siswa, keterlibatan dalam pengembangan sekolah, dan partisipasi dalam pelatihan.
Tugas Tambahan dan Ekuivalensi Jam Kerja
Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025 juga mengakomodasi ekuivalensi jam kerja bagi guru yang memiliki tugas tambahan, seperti wali kelas, pembina OSIS, koordinator ekstrakurikuler, kepala laboratorium, Kepala Unit Produksi, dan ada tugas tambahan baru dalam Peraturan Menteri ini yaitu "Guru Wali". Tugas-tugas tersebut dihitung sebagai bagian dari beban kerja profesional, dan dapat menggantikan sebagian dari jam tatap muka.
Hal ini menunjukkan bahwa fokus peraturan bukan pada lokasi kerja, tetapi pada akumulasi tanggung jawab dan kontribusi guru terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.
Kembali pada Hakikat Profesi Guru
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa profesi guru adalah profesi yang memerlukan kepercayaan, otonomi, dan profesionalisme. Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025 telah memberi arah kebijakan yang tepat dengan mengatur beban kerja guru secara mingguan dan menyeluruh, bukan sekadar jam hadir harian.
Memaksakan guru untuk hadir 8 jam setiap hari tanpa mempertimbangkan variasi tugas dan kontribusi mereka justru dapat mereduksi makna profesi guru yang sejati. Yang lebih penting adalah bagaimana guru benar-benar menjalankan peran pendidiknya secara penuh: mendidik, membimbing, menilai, dan membentuk karakter peserta didik—bukan hanya mengisi absensi pagi dan sore.