Lampung Geh, Bandar Lampung – Konflik manusia–satwa liar di Lampung rata-rata mencapai 260 kasus setiap tahun dalam satu sepuluh tahun terakhir, melibatkan gajah dan harimau sumatera yang menimbulkan korban jiwa hingga kerugian ekonomi besar.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Lampung menunjukkan, konflik manusia–gajah di Taman Nasional Way Kambas rata-rata terjadi 185 kali per tahun di 13 desa terdampak, sedangkan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan rata-rata 53 kejadian per tahun di 12 desa.
Untuk konflik manusia–harimau, rata-rata 22 kejadian per tahun di 14 desa, dengan kerugian ternak mencapai 192 ekor serta korban jiwa manusia.
Pada 2024–2025, di Bukit Barisan Selatan tercatat delapan insiden konflik harimau sumatera yang menewaskan tujuh orang.
Sementara pada Juni 2025, sekelompok gajah memasuki area perkebunan di perbatasan Desa Braja Asri dan Braja Sakti, Kabupaten Lampung Timur, menimbulkan kerugian materi besar.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Provinsi Lampung menyiapkan sejumlah langkah strategis, termasuk revisi tim koordinasi, penyusunan SOP penanganan, dan mitigasi jangka panjang.
Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela mengatakan, forum koordinasi yang dibentuk sejak 2021 belum berjalan optimal.
Pemprov akan memverifikasi ulang Surat Keputusan (SK) Tim Koordinasi Penanganan Konflik Manusia–Satwa Liar dan memperluas anggota tim, melibatkan bupati/wali kota, akademisi, dan media.
“Akademisi penting untuk melakukan riset berkala terkait populasi satwa dan kondisi habitatnya. Data ini akan menjadi dasar perumusan kebijakan penanganan,” kata Jihan dalam Rapat Koordinasi Penanggulangan Konflik Manusia–Satwa Liar di Kantor Gubernur Lampung, pada Rabu (13/8).
Selain pembaruan SK, Pemprov menyiapkan penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan konflik untuk memastikan pembagian tugas antarinstansi, penentuan pihak yang bertindak pertama, langkah yang diambil, serta target waktu penyelesaian.
Mitigasi jangka panjang yang direncanakan meliputi pemetaan wilayah rawan, pemasangan tanda peringatan, pengawasan titik hotspot, pembagian wilayah kerja provinsi dan kabupaten/kota, serta pemulihan ekosistem melalui rehabilitasi lingkungan dan sosial.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Hifzon Zawahiri, menambahkan, berkurangnya pakan alami menjadi salah satu penyebab satwa keluar dari kawasan.
“Untuk mengatasi masalah pakan, salah satu solusi adalah memasukkan babi hutan ke dalam kawasan karena merupakan pakan efektif dan berkembang biak cepat,” ujarnya.
Ia mencontohkan kawasan Tambling yang memiliki kerapatan harimau 10–11 ekor per 36 ribu kilometer persegi, lebih tinggi dari idealnya 3–4 ekor. Namun, karena pakan cukup, konflik satwa dengan manusia tidak terjadi di wilayah tersebut. (Cha/Put)