REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, pihak Belanda tatkala menjajah Indonesia cenderung enggan memaksakan bahasanya kepada masyarakat lokal. Sebab, Belanda menganggap kebudayaan Eropa sebagai superior sehingga membiarkan orang Indonesia tetap dalam “keterbelakangan.”
Logika kolonial demikian membuat pemerintah kolonial Belanda membayangkan, akan berbahaya bila masyarakat Nusantara mengenali “rahasia” kekuatan bangsa Eropa, yakni dengan mahir berbahasa Belanda.
Dengan demikian, para pejabat Belanda sendiri terpaksa mahir berbahasa Melayu, minimal secara lisan, agar bisa berkomunikasi dengan masyarakat negeri jajahannya.
Dari sinilah kodifikasi modern bahasa Melayu bermula, yang kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Terkait itu, Prof Faruk dalam sebuah bukunya menilai, bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai bahasa penjajah. Sebab, lanjut akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, bahasa tersebut telah melalui standardisasi yang dibuat oleh kekuasaan kolonial.
Aksara Jawi kian terpinggirkan
Kodifikasi bahasa Indonesia oleh pemerintah kolonial ternyata meminggirkan peran Islam dan bahasa Arab di Indonesia. Itu pun berimbas pada ulama-ulama Nusantara, yang sejak abad ke-13 M telah giat membangun komunikasi peradaban di Nusantara.
Belanda membuat sebuah ideologi kebahasaan dengan kedok standarisasi bahasa Melayu. Prof Faruk menjelaskan, para orientalis dan pemerintah kolonial membuat dualisme hierarkis, yakni menempatkan bahasa Melayu hasil kodifikasinya sebagai “Melayu Tinggi”, sedangkan bahasa Melayu yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat setempat sebagai lingua franca dicap “Melayu Gado-gado”, “Melayu kacau”, "Melayu pasar", dan istilah-istilah lainnya yang bernada merendahkan.
Kodifikasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda tentu saja menggunakan aksara yang sama dengan yang dipakai untuk bahasa Belanda, yakni Latin, bukan aksara Arab. Ini berbeda dengan bahasa Melayu tertulis yang dipakai umumnya ulama Nusantara kala itu, yakni aksara Arab (disebut pula aksara Jawi atau Pegon).
Kevin W Fogg dalam artikelnya, “The Standardisation of the Indonesian Language and Its Consequences for Islamic Communities” (2015) menjelaskan, kodifikasi atau standarisasi bahasa Melayu Tinggi itu mengalienasi penggunaan aksara Arab berbahasa Melayu atau Jawi. Padahal, Jawi merupakan simbol etnisitas bangsa Melayu.