Bea Cukai dan stakeholder menyusun implementasi standar data logistik nasional.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bea Cukai melalui Tim Transisi Ekosistem Logistik Nasional menggelar Sosialisasi Kajian Standarisasi Data, Kamis (14/8/2025) di Kantor Pusat Bea Cukai. Hadir dalam kegiatan ini para perwakilan pemangku kepentingan antara lain National Logistics Ecosystem (NLE) dari kementerian/lembaga terkait serta entitas logistik. Kegiatan ini bertujuan menyamakan pemahaman dan menyusun langkah implementasi standar data logistik nasional.
Sosialisasi tersebut merupakan tindak lanjut dari penyusunan kajian standardisasi data logistik oleh Tim Transisi Ekosistem Logistik Nasional bersama Tim Peneliti Prospera dan Arghajata. Hal ini diharapkan dapat menjadi awalan pengintegrasian sistem, aplikasi, dan layanan logistik dari berbagai pemangku kepentingan di Indonesia. Kajian itu sebelumnya telah dipaparkan juga dalam Focus Group Discussion (FGD) pada 17 Juni 2025.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Bea Cukai Rachmad Solik menegaskan pentingnya langkah ini. Sebab, digitalisasi logistik nasional bukan hanya soal penerapan teknologi informasi, tetapi membangun ekosistem yang terintegrasi, transparan, dan efisien.
Indonesia masih menghadapi biaya logistik tinggi yang pada 2023 mencapai 14,29 persen dari PDB. Angka ini di atas rata-rata negara setara sebesar 10-12 persen. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya standar data logistik yang seragam. Akibatnya, terjadi fragmentasi sistem, pengulangan pengisian dokumen dan lambatnya pertukaran informasi antar pemangku kepentingan.
“Standarisasi data merupakan pondasi digitalisasi logistik nasional. Tanpa itu, integrasi sistem antarpemangku kepentingan akan terus terhambat, biaya operasional membengkak, dan daya saing nasional sulit ditingkatkan,” ujarnya.
Hasil sementara kajian yang dilakukan Prospera dan Arghajata menunjukkan bahwa meskipun berbagai layanan digital telah dikembangkan, masih terdapat sejumlah tantangan mendasar. Kajian ini menyoroti masih rendahnya interoperabilitas antarplatform, duplikasi pengisian data, format dokumen yang tidak seragam, serta lemahnya regulasi, serta belum optimalnya integrasi proses dari hulu ke hilir.
Kondisi ini mengakibatkan fragmentasi sistem, peningkatan biaya dan waktu, rendahnya kepercayaan pelaku usaha, serta risiko inefisiensi dan resistensi terhadap integrasi. Fokus kajin kali ini diarahkan pada proses impor, khususnya pada delivery order, surat penyerahan petikemas, layanan trucking, pergudangan, kapal (vessel), hingga depo, yang terbukti sebagai titik kritis efisiensi dan pertukaran data.
Rekomendasi yang dihasilkan meliputi standarisasi dokumen dan metadata logistik, integrasi platform melalui single source of truth dan open API, reformasi regulasi termasuk peningkatan status Inpres menjadi Perpres, serta penguatan keamanan data dan legitimasi dokumen digital seperti e-Bill of Lading dan tanda tangan elektronik.
Melalui sosialisasi yang diselenggarakan, pihak-pihak yang terlibat berkesempatan membedah lebih dalam rekomendasi, rencana aksi, dan langkah implementasi yang diharapkan dapat menjawab tantangan yang ada. Selain itu, memastikan bahwa NLE benar-benar menjadi pendorong efisiensi, transparansi dan daya saing logistik Indonesia di masa depan.
Ketua Tim Transisi Ekosistem Logistik Nasional sekaligus Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai, Rudy Rahmaddi, menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi. “Hasil kajian ini adalah langkah konkret menuju logistik nasional yang lebih efisien, kompetitif, dan berkelanjutan,” katanya.
Dengan selesainya tahap kajian dan dimulainya sosialisasi ini, pemerintah optimistis penguatan NLE melalui standarisasi data akan menjadi pendorong efisiensi dan transparansi logistik nasional, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.