Sejak tahun 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 23 Juni sebagai Hari Janda Internasional. Penetapan ini bukan tanpa alasan. PBB melihat jutaan perempuan di seluruh dunia yang berstatus janda masih hidup dalam bayang-bayang diskriminasi, stigma, dan keterabaian, baik secara hukum, sosial, maupun budaya. Mereka sering disebut sebagai kelompok yang “tak terlihat,” padahal peran mereka begitu nyata dalam menggerakkan keluarga dan masyarakat.
Selanjutnya pada tahun 2025, tema yang diangkat adalah “Perempuan Tak Terlihat, Masalah Tak Terlihat". Tema ini mengetuk kesadaran global bahwa ketika kehidupan para janda dipinggirkan, masalah-masalah yang mereka hadapi pun luput dari perhatian publik: kemiskinan, pengasuhan anak sendirian, hingga tekanan psikologis. Padahal, di balik sunyi kehidupan itu, para janda adalah sosok-sosok tangguh yang diam-diam menjadi pemimpin keluarga.
Di dalam masyarakat, kata “janda” sering kali disertai bisik-bisik. Label yang dilekatkan bisa merendahkan martabat, seolah-olah status itu adalah aib. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh psikolog Dr. Livia, janda justru identik dengan keberanian luar biasa. Terutama bagi mereka yang memilih bercerai karena menolak kekerasan rumah tangga. Keputusan itu bukan sekadar mengakhiri hubungan, tetapi sebuah keberanian untuk menegakkan hak dasar sebagai manusia: hak untuk hidup bebas dari kekerasan.
Di sisi lain, banyak pula janda yang tiba-tiba kehilangan pasangan karena kematian. Kehilangan itu menyisakan duka mendalam, sekaligus tanggung jawab berat yang harus mereka pikul sendirian. Namun, di tengah keterpurukan, sebagian besar bangkit dan menjelma menjadi tulang punggung keluarga.
Salah satu cara untuk melawan stigma adalah menuliskan pengalaman, writing is indeed healing, menulis adalah jalan penyembuhan. Inilah semangat yang melahirkan buku "Janda: Kisah-Kisah Perempuan Pemimpin Keluarga", sebuah antologi yang diprakarsai dan disunting oleh Jane Ardaneshwari.
Jane mengajak para perempuan penyandang status janda untuk “berjemaah” dalam tulisan. Hasilnya, terkumpul kisah dari banyak nama yang berani bersuara: Inge Widjajanti, Alectrona, Ami Simatupang, Anneke Natanael, Aridni Akino, Arunika, Diana Nora Putri, Henny Sugiarto, Ida S. Siallagan, Ietje S. Guntur, Imas Nurhayati, Indah Wibowo, Maria Davina, Lisa Louise, Nita Nasriah Nor, Nora Nonka, Renata Anggraeni, Rose Oei, Septa Perdana Kurniawan, Shinta Nuryuliana, Tyas Chairunnisa, Ulin Yunipurwo, Vivien Damarsasi, Widia Yati, hingga Yudiati Kuniko.
Cerita-cerita mereka hadir bukan untuk mencari simpati, tetapi untuk menunjukkan bahwa mereka nyata, mereka ada, dan mereka kuat. Dunia kini tak bisa lagi menutup mata. Bunga rampai ini memotret beragam kisah kehidupan janda yang penuh warna. Ada yang menikah di usia sangat muda, lalu dikhianati pasangan hingga memilih bercerai. Ada yang mendampingi pasangan bertahun-tahun sakit stroke, lalu ditinggalkan wafat, tetapi tetap tegar membesarkan anak-anak. Ada pula yang memilih berhenti bekerja untuk fokus pada keluarga, tetapi justru dikecewakan oleh perselingkuhan.
Semua kisah itu menegaskan satu hal: perceraian, kematian pasangan, atau status janda bukan akhir kehidupan. Meskipun awalnya berat, penuh air mata, dan menimbulkan rasa tak berdaya, lambat laun muncul keyakinan bahwa setiap perempuan berhak untuk bahagia. Dari keyakinan itu lahirlah kekuatan untuk bangkit.
Bangkit tidak selalu berarti kembali menikah, melainkan berdiri tegak secara mandiri: bekerja, berkarya, menafkahi, sekaligus mendidik anak-anak. Di titik ini, para janda menjelma menjadi pemimpin keluarga sejati.
Momen Hari Janda Internasional mengingatkan kita semua untuk mengubah cara pandang. Sudah saatnya masyarakat berhenti melihat janda sebagai sosok yang “kurang” atau “cacat sosial.”
Justru sebaliknya, mereka adalah pahlawan keluarga. Ketika seorang janda mampu menyekolahkan anaknya sampai sarjana dengan hasil jerih payah sendiri, bukankah itu kepemimpinan yang luar biasa? Ketika seorang janda tetap berkarya meski dihantam stigma, bukankah itu teladan keberanian? Ketika seorang janda mampu tertawa setelah berkali-kali jatuh, bukankah itu bukti bahwa luka bisa berubah menjadi kekuatan? Maka, menghormati para janda bukan hanya soal empati, tetapi juga soal keadilan sosial.
Lebih jauh, kisah-kisah yang terhimpun dalam buku Antologi ini bisa menjadi gerakan kesadaran. Dengan membaca, kita belajar untuk menanggalkan stigma. Dengan menulis, para janda menemukan ruang penyembuhan. Dan dengan berbicara, mereka merebut kembali posisi sebagai warga negara yang layak didengar.
Gerakan ini penting karena masih banyak persoalan yang menghimpit: minimnya perlindungan hukum, akses kerja yang terbatas, hingga diskriminasi sosial. Perempuan yang menjadi kepala keluarga sering kali harus berjuang dua kali lipat dibanding laki-laki, namun pengakuan terhadap peran mereka masih minim. Di sinilah masyarakat, komunitas, dan pemerintah ditantang untuk hadir. Bukan hanya memberi simpati, tetapi juga menyediakan ruang partisipasi, dukungan, dan perlindungan nyata.