Perkembangan media sosial telah mempercepat arus distribusi informasi dalam skala yang masif, instan, dan lintas batas. Setiap individu kini memiliki akses sekaligus kapasitas untuk memproduksi serta menyebarkan informasi tanpa melalui mekanisme filterisasi atau verifikasi yang ketat. Kondisi ini menghadirkan paradoks: di satu sisi, keterbukaan informasi memberi peluang bagi institusi untuk menjangkau publik secara lebih luas; namun di sisi lain, ia juga melahirkan risiko serius berupa penyebaran misinformasi, disinformasi, hingga hoaks yang sulit dikendalikan.
Dalam konteks tata kelola komunikasi lembaga negara, tantangan tersebut menuntut adanya reposisi peran media yang agresif, bukan hanya sebagai penyampai pesan, melainkan juga sebagai penjaga kredibilitas dan penegak validitas informasi di ruang publik yang semakin cair dan rawan manipulasi.
Yang terjadi saat ini, era post-truth ditandai dengan melemahnya posisi fakta objektif dalam memengaruhi opini publik, sementara emosi dan keyakinan personal justru menjadi landasan utama dalam pembentukan persepsi masyarakat. Fenomena ini membawa implikasi signifikan terhadap tata kelola komunikasi lembaga negara, khususnya dalam konteks media sebagai instrumen komunikasi strategis.
Dengan demikian, tantangan utama bagi tata kelola komunikasi lembaga negara di era post-truth adalah memastikan pesan yang dikomunikasikan tidak sekadar efektif, tetapi juga akuntabel, berbasis data, serta mampu mengembalikan otoritas fakta di tengah derasnya arus opini. Urgensi pengembangan strategi komunikasi yang adaptif, inovatif, dan etis menjadi semakin relevan untuk dikaji dalam kerangka akademik maupun praktik profesional.
DPR RI sebagai lembaga perwakilan dalam dinamika komunikasi publik kerap menghadapi tantangan serius. Berbagai survei opini publik menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang mudah mengalami fluktuasi. Akibatnya, DPR sering kali berada dalam kondisi krisis komunikasi, termasuk saat ada kebijakan atau pernyataan anggota DPR yang berpotensi memicu persepsi publik yang kontraproduktif terhadap citra kelembagaan.
Di era post-truth, tantangan ini semakin kompleks. Arus informasi yang tidak terfilter di media sosial mempercepat pembentukan opini publik, bahkan sebelum klarifikasi resmi dirilis. Narasi negatif yang berkembang cenderung lebih cepat diterima dan diperkuat melalui mekanisme echo chamber, sehingga memperdalam jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR. Kondisi ini tentu membuat misi untuk meningkatkan citra DPR tak semudah meningkatkan citra lembaga negara lain pada umumnya, karena upaya membangun citra positif sering kali tereduksi oleh dominasi wacana publik yang sarat emosi dan bias politik yang sudah tertanam di masyarakat.
Sehingga menurut hemat saya, DPR RI hampir selalu beroperasi dalam situasi krisis komunikasi yang berkepanjangan. Hal ini menuntut penerapan strategi komunikasi yang tidak hanya bersifat reaktif dalam merespons isu, tetapi juga proaktif dalam membangun narasi yang transparan, akuntabel, serta berbasis pada kepentingan publik. Kehumasan DPR perlu memposisikan diri sebagai mediator yang mampu menghubungkan aspirasi rakyat dengan kerja kelembagaan melalui kanal komunikasi yang kredibel. Tanpa transformasi strategi komunikasi yang adaptif, citra DPR berisiko terus mengalami delegitimasi di ruang publik yang semakin terbuka, cepat, dan emosional.
Dalam konteks citra DPR RI yang kerap berfluktuasi dan selalu berada dalam bayang-bayang krisis komunikasi, diperlukan sebuah kerangka kerja yang sistematis dan terukur. Salah satu pendekatan strategis yang relevan adalah penyusunan protokol komunikasi sebagai pedoman kelembagaan dalam merespons isu publik. Protokol ini berfungsi sebagai standar operasional dalam pengelolaan arus informasi, baik pada saat kondisi normal maupun ketika menghadapi krisis yang berpotensi merusak citra kelembagaan.
DPR RI sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, terdapat banyak fraksi dan 580 anggota yang berasal dari berbagai latar belakang partai politik dan daerah pemilihan. Keberagaman ini tentu mencerminkan aspirasi masyarakat Indonesia yang majemuk, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak berpendapat bagi setiap anggota DPR.
Namun dalam pengamatan saya, kebebasan berpendapat yang melekat pada anggota DPR kerap menimbulkan persoalan. Tidak jarang, pernyataan seorang anggota justru menimbulkan kontroversi dan berdampak negatif pada citra kelembagaan DPR secara keseluruhan. Fenomena ini menunjukkan adanya dilema: bagaimana menjaga hak berpendapat sebagai prinsip demokrasi, tetapi sekaligus memastikan bahwa pernyataan publik tidak merusak kredibilitas institusi.
Sebagai wakil rakyat, anggota DPR memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pandangan, baik di forum resmi maupun di ruang publik seperti media massa dan media sosial. Tentu, hak tersebut merupakan bagian dari representasi politik dan demokrasi.
Namun, realitas menunjukkan bahwa pernyataan anggota DPR sering kali menimbulkan persepsi negatif. Hanya karena pernyataan satu anggota saja, lantas publik bisa langsung menilai DPR sebagai lembaga yang kerap mengeluarkan komentar yang tidak sensitif terhadap situasi, tidak selaras denga...