Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai kesepakatan perdagangan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang berkaitan dengan penerapan tarif baru dari Pemerintahan Trump membawa potensi positif bagi perekonomian nasional, khususnya di sektor ekspor dan jasa keuangan. Penilaian ini disampaikan langsung oleh Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar.
Mahendra menyebut, kesepakatan yang tercapai merupakan bagian dari langkah AS yang kini tengah menyesuaikan hubungan perdagangannya dengan berbagai negara. Dalam konteks itu, Indonesia dianggap telah mengambil posisi strategis untuk mengurangi dampak negatif sekaligus memanfaatkan peluang yang muncul.
“Kalau kami memandang bahwa kesepakatan yang dicapai tentu kita masih menunggu secara resmi berlakunya dari kesepakatan tadi. Tapi apa yang dicapai antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah AS ini kan merupakan bagian dari apa yang terjadi yang dilakukan oleh pemerintah AS terhadap semua perdagangan negara-negara lain dengan AS,” kata Mahendra dalam konferensi pers, Senin (4/8).
OJK menyoroti beberapa produk ekspor unggulan Indonesia, seperti barang-barang elektronik, alas kaki, minyak nabati, garmen, karet, hingga furnitur, memiliki potensi untuk lebih kompetitif di pasar AS. Meskipun Indonesia dikenakan tarif 19 persen, posisi tarif ini dinilai relatif kompetitif dibandingkan negara lain, termasuk China dan Vietnam.
“Ruang untuk meningkatkan dari apa yang ekspor kita untuk barang-barang listrik ini atau elektrik, equipment dan machinery serta suku cadangnya, itu terbuka luas jika disandingkan dengan apa yang dialami oleh negara lain,” jelas Mahendra.
Dalam data yang disampaikan Mahendra, disebutkan bahwa enam komoditas ekspor utama Indonesia ke AS menyumbang hingga 52 persen dari total ekspor nasional ke negara tersebut dengan nilai mendekati USD 14 miliar. Posisi Indonesia di pasar ekspor barang-barang ini masih bisa ditingkatkan, apalagi dengan dinamika tarif yang kini tengah berlangsung terhadap negara-negara pesaing.
Salah satu komoditas penting yang juga dibahas adalah minyak nabati. Indonesia saat ini menjadi eksportir kedua terbesar ke AS, berada di bawah Kanada. Mahendra menggarisbawahi bahwa kepastian terkait posisi Kanada dalam kesepakatan trilateral (Meksiko–Kanada–AS) bisa mempengaruhi struktur tarif secara signifikan.
“Kalau tidak termasuk maka dia (Kanada) kena 35 persen. Tapi kalau termasuk dia tidak terkena tarif sama sekali,” ungkapnya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa peluang peningkatan daya saing Indonesia terbuka lebar di tengah kondisi perdagangan global yang tidak menentu. Hal ini harus direspons dengan memperkuat iklim investasi dan ekspor dalam negeri.
“Utamanya adalah bagaimana kita bisa memperbaiki dan memperkuat terus iklim berusaha dan iklim investasi di Indonesia,” katanya.
Terkait peran sektor jasa keuangan dalam menyokong ekspor, Mahendra menambahkan bahwa OJK tengah melakukan pendalaman terhadap alokasi kredit bank untuk perusahaan-perusahaan eksportir di sektor unggulan tersebut. Ia menyebut kajian ini awalnya dilakukan untuk menilai risiko saat Trump pertama kali memperkenalkan kebijakan “Liberation Day”, namun kini justru menjadi dasar untuk melihat potensi pertumbuhan.
“Setelah angkanya sekarang ini bisa dikatakan hampir final dan sudah dapat angka besaran spesifik justru bisa melihatnya dari data-data tadi peluang yang bisa dimanfaatkan untuk ke depannya,” tambahnya.
Lebih lanjut, Mahendra juga melihat adanya dampak positif dari komitmen dagang lain, termasuk dalam hal pasokan energi dan komoditas strategis seperti kedelai. Menurutnya, peningkatan sumber energi akan memperkuat ketahanan energi nasional dalam jangka panjang.
“Dengan semakin banyaknya sumber untuk pasokan dari energi migas di Indonesia tentu ini memperluas juga daya tahan kita untuk menjaga energi security,” tegas Mahendra.
Untuk menjaga stabil...