
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan untuk memajukan batas waktu pembayaran pungutan jasa keuangan. Pungutan ini digunakan untuk membiayai operasional, pengawasan, pemeriksaan, serta program pengembangan industri jasa keuangan di Indonesi
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara mengatakan sumber anggaran OJK berasal dari pungutan, penerimaan lainnya, serta saldo awal yang berasal dari surplus tahun sebelumnya.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Dan Anggaran Otoritas Jasa Keuangan Dan Pungutan Di Sektor Jasa Keuangan.
“Kami mohon dukungan dari Bapak Pimpinan dan Bapak Ibu Anggota di Komisi XI terkait penyesuaian pengaturan untuk memajukan batas waktu pembayaran pungutan setiap tahap. Dari yang semula pada akhir triwulan menjadi awal triwulan,” kata Mirza dalam Raker dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (16/7).
Menurut dia, pungutan tahunan yang diatur dalam Pasal 13 ayat 4 beleid tersebut merupakan sumber anggaran terbesar OJK yaitu lebih dari 90 persen.
Sementara pungutan yang digunakan untuk membiayai kegiatan OJK sejak 1 Januari tahun berjalan ini, dibayarkan setiap akhir kuartal, tepatnya paling lambat tanggal 15 setiap bulan April, Juli, Oktober dan Desember.
“Maka akan terdapat potensi cash flow mismatch antara penerimaan dengan kebutuhan anggaran di triwulan I setiap tahunnya. Karena penerimaan tahap 1 selambatnya baru akan diperoleh tanggal 15 April,” jelasnya.
Cash flow mismatch ini dapat berdampak pada kegiatan operasional OJK. Sebab, lanjut Mirza, jika OJK tidak memiliki saldo awal yang berasal dari tahun sebelumnya maka sumber anggaran berasal dari penguatan tahun berjalan.
Dia mengusulkan agar pembayaran pungutan lembaga jasa keuangan dimajukan dari April menjadi Januari atau di awal kuartal I, lalu dari semula Juli menjadi April atau di awal kuartal II dan seterusnya.
“Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas OJK,” imbuhnya.