Sebaris pertanyaan muncul di media sosial saya: “Apakah dalam kebijakan publik dikenal mens rea?” Pada hukum pidana, istilah mens rea merujuk pada “pikiran bersalah” atau niat jahat pelaku kejahatan. Istilah ini digunakan untuk menakar kesalahan moral di balik sebuah tindak pidana.
Dalam kebijakan publik, sesungguhnya tidak dikenal mens rea. Bahkan, mens rea tidak relevan pada kebijakan publik. Pembuat kebijakan publik adalah pejabat publik. Dalam organisasi pemerintahan yang benar, baik, dan bertanggungjawab,
Pejabat publik adalah pribadi yang dipilih atau diangkat berdasarkan kapasitas, integritas, dan komitmen moral untuk mengabdi pada kepentingan rakyat. Mereka tidak hanya memegang kekuasaan, tetapi juga amanat untuk menciptakan kebaikan bersama. Mereka ada di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta auksiliriatif.
Sementara itu, mens rea an sich hadir di suatu komunitas yang heterogen, terutama secara kualitas manusia; ada yang baik, ada yang jahat; ada yang mengejar kepentingan sendiri namun peduli dengan kepentingan orang lain, namun ada yang tidak peduli; ada yang memilih cara yang baik, ada yang jahat. Mereka hadir secara alamiah, eksistensial, dan tidak ada seleksi atas keberadaannya. Berbeda dengan organisasi pemerintahan, hadir dengan seleksi yang disengaja sebagaimana kita sebutkan sebelumnya.
Tetapi bagaimana jika asumsi itu keliru?
Pertanyaan dari kolega tersebut nampaknya diangkat dari penilaiannya bahwa pada kenyataan tidak sedikit kebijakan yang menjadi kejahatan bagi kehidupan publik, baik karena alasan kepentingan pribadi dari pejabat publik, atau kepentingan Pemerintah sebagai organisasi kekuasaan. Jika kepentingan pribadi (dan golongan) berarti kebijakan yang korup atau korupsi kebijakan, artinya dibuat sengaja untuk mengorupsi uang negara, uang publik, atau kalau perlu setiap uang yang beredar suatu negara. Istilah lain adalah vendor driven policy, atau kebijakan yang diatur oleh vendor, atau captured policy, atau kebijakan yang sejak awal sudah dijebak menciptakan proses yang korup, namun karena sudah ada kebijakan yang mendasari, tidak dapat diklaim, apalagi dituduh, sebagai korup.
Jika untuk kepentingan pemerintah sebagai organisasi kekuasaan bisa dalam bentuk kebijakan ekstraksi secara berlebihan atas keuangan publik, termasuk peningkatan dan pendalaman pajak dan penambagan utang baru, termasuk utang dengan jaminan proyek atau investasi pemerintah, untuk membuat target-target dari Pemerintah sebagai organisasi kekuasaan dapat dicapai. Misalnya, target pertumbuhan ekonomi, target pemerataan, hingga target penggelembungan anggaran (APBN), di tengah kesulitan ekonomi yang dialami oleh masyarakat. Termasuk juga “menggadaikan” aset nasional, termasuk aset data, untuk menyelamatkan wajah kekuasaan di percaturan global, terutama saat ada tekanan dari negara yang sangat berkuasa.
Hingga di sini, hemat saya, keduanya dapat dikategorikan sebagai “pejabat publik yang membawa niat jahat terhadap kepentingan dan realitas publik”. Bahkan, kebijakan yang dihasilkan bisa menjadi alat penindasan dan perampasan hak publik. Ini adalah bentuk anomali sistem politik: mens rea pejabat publik menjadi kebijakan negara, dan publiklah yang menanggung akibatnya.
Penyebabnya, pribadi yang menjadi pejabat negara atau pejabat publik bukanlah mereka yang diasumsikan memiliki kapasitas, integritas, dan komitmen moral untuk mengabdi pada kepentingan rakyat. Sistem politik demokrasi tidak menjanjikan orang baik, benar, berintegritas, dan berkomitmen moral, untuk mengisi pos-pos pejabat publik. Termasuk, jika pun sistem itu disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Apalagi sistem yang tidak demokratis, misalnya totalitarian.
Ketika Niat Jahat Menjadi Kebijakan
Ilmuwan politik Mancur Olson dalam "The Logic of Collective Action" (1965) mengingatkan bahwa dalam sistem politik yang lemah, aktor-aktor kekuasaan dapat disebut sebagai bandit, bahkan sebagai "bandit stasioner" atau “bandit yang nge-tem” atau “mangkal”—menggunakan kebijakan publik untuk memeras sumber daya demi kepentingan negara ataupun kelompoknya sendiri secara terus menerus.
Jika rumus ini diterapkan pada kebijakan publik, maka mens rea pejabat publik sering muncul ketika kekuasaan terkonsentrasi tanpa pengawasan memadai, ketika ada keleluasaan mengambil keputusan tanpa transparansi, dan ketika mekanisme akuntabilitas gagal bekerja. Mungkin saja, meski masih perlu pembuktian, seperti Danantara yang antara lain mengelola kekayaan badan-badan usaha milik negara, namun menolak transparansi dan akuntabilitas publik sebagaimana badan-badan negara lainnya.
Korupsi kebijakan adalah bentuk paling nyata dari “niat jahat” dalam ranah publik. Misalnya...