Elang Jawa atau Nisaetus bartelsi merupakan burung khas pulau jawa yang terancam punah. Populasinya hanya tersisa di hutan-hutan alami di pulau Jawa. Jumlah elang jawa pun diperkirakan tersisa 300-500 ekor di Jawa dan Bali.
Dari sisi karakteristik, burung pemangsa unik dengan jambul dan paruh yang melengkung tajam. Tak heran jika salah satu penyebab kepunahannya adalah perburuan liar.
Selain itu, elang jawa betina juga hanya dapat bertelur satu butir saat musim pembiakan. Praktis, laju reproduksi burung yang menjadi simbol garuda ini termasuk lambat. Hal tersebut diperkeruh dengan adanya penyempitan habitat akibat pergeseran fungsi lahan hutan.
Elang jawa digolongkan sebagai spesies terancam punah dengan status genting (Endangered) oleh IUCN dan CITES melarang elang jawa diperdagangkan secara ilegal di pasar internasional. Perlindungan ini bertujuan untuk memulihkan populasi elang jawa sekaligus menyeimbangkan rantai makanan, sebab elang jawa merupakan predator hama pertanian.
Pada 14 Mei 2025, tiga ekor elang jawa pernah tertangkap kamera Java-wide Leopard Survey (JWLS) di langit Pegunungan Kelud sedang beterbangan dan bertengger di pepohonan tinggi. JWLS merupakan hasil kolaborasi PT Djarum, Kementerian Kehutanan, dan Yayasan SINTAS Indonesia untuk memetakan populasi macan tutul jawa di seluruh Pulau Jawa.
Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) berkomitmen untuk melestarikan dan merehabilitasi kawasan hutan kritis Gunung muria. Caraya dengan menanam bibit pohon dan tanaman kayu yang rutin dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. Kawasan itu memang merupakan salah satu habitat alami elang jawa.
Konservasi Lereng Muria dilakukan guna menjaga keseimbangan lingkungan hidup di tiga kabupaten sekaligus, yakni Kudus, Pati, dan Jepara. Hingga 2020, sudah ada 149.000 pucuk pohon yang ditanam untuk konservasi di Lereng Muria.
Konservasi di kawasan Gunung Muria bertujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup Kabupaten Kudus di masa mendatang sekaligus melindungi keanekaragaman hayati yang tersimpan di dalamnya.